Picture

Picture
Picturku

Rabu, 04 Maret 2015

Novel Sejarah Butun Imajiner Eros in Waero-ero Episode 1



Novel Sejarah Butun Imajiner
Eros in Waero-ero
Episode 1
_

SANG DIVA
Lampu kantorku baru saja dipadamkan. Ruangan kantor berukuran sedang itu tentu saja
menjadi temaram. Satu-satunya sumber pencahayaan kini hanyalah dari atas dari jendela
kecil disisi kanan ruangan. Aku menengok jam di pergelangan tangan. Waktu kini
menunjukkan pukul 10:22. Diluar gelap disertai gerimis. Oh ya, ini malam Jumat.
 Ketika pintu ruangan itu kukunci, seperti biasa ada bunyi "klik". Tapi, malam ini kok lain.

Dari dalam ruangan, terdengar pula bunyi klik yang sama. Sekilas bulu kuduk meremang.

Hanya sesaat, kesadaranku kembali pulih. Perlahan anak kunci itu kutarik. Tapi, karena
gugup, kunci itu jatuh ke lantai.

"Kloneng..", suara anak kunci jatuh menyentuh lantai.

Dan, dari arah dalam ruangan, kali ini jelas kembali terdengar bunyi yang sama. Echo yang
sama. Gila. Kali ini, bulu kudukku benar-benar berdiri. Tanpa berpikir panjang, anak kunci
itu kusambar. Dengan bergegas dan secepatnya, keluar dari areal bangunan perkantoran.

Aku sudah tidak peduli lagi pada bunyi echo sepatu dan langkah yang sama di
belakangku. Dengan napas terengah-engah, tiga menit kemudian, aku sudah sampai di
jalan raya.

**

Hari ini, aku mengutuk diri, mengapa tadi tidak bawa kenderaan. Jam begini, dengan
disertai gerimis pula, kenderaan ojek tinggal satu dua. Ternate memang kota yang tidak
dilayani taksi umum, seperti kota-kota lainnya.
 Menyusuri trotoar jalan, langkahku bergegas mencari pangkalan ojek. Seingatku, gak jauh
dari situ memang ada halte bis yang ketika malam tiba dijadikan tempat ojek nongkrong.
Jaraknya cukup dekat.
 Mendekati halte, dari jauh terlihat ada sesosok tubuh lain yg juga sedang menunggu. Aku
senang karena sudah mendapat teman. Ini manusia pertama yg kutemui sejak keluar
ruangan tadi. Wah, asik dan ternyata sesosok tubuh tadi adalah seorang wanita.
 Hanya berdua di bawah halte bis itu, kulihat perempuan ini terlihat kikuk. Biasa,
sebagaimama biasa, rumusnya pendekatannya adalah, "man first!". Di tangannya kulihat memegang payung hitam.
 "Mau pulang Mbak", tanyaku ramah. Wanita itu menoleh. Wajahnya cantik disinari lampu
merkuri dari seberang jalan. Dia mengangguk, dengan sedikit senyum.
 "Sudah lama menunggu?", tanyaku lagi. Jawabannya sama. Hanya anggukan. Tapi kali ini
tanpa senyum.
 "Tunggu jemputan?", aku tanya lagi. Berharap dijawab dengan suara. Tapi hanya
mendapat gelengan. Namun, senyumnya kembali terlihat. Cantik. Berpadu dengan
keanggunan. Duh, ini cewek bikin penasaran saja.
 "Memangnya mau pulang kemana?", aku berusaha untuk mengajaknya bicara.
 Dan akhirnya, wanita ini bersuara juga. Masih tetap singkat.
 "Pulang!".
 Sejenak terdiam beberapa saat. Susah juga pendekatan pada wanita ini. Aku memutar otak
sampil pura-pura melengok mencari kenderaan. Tapi gerimis memang berubah menjadi
deras. Itu yang membuat ojeg malas berkeliling.
 Tiba-tiba, aku dapat ide. “PDKT” payung!
 "Mbak, disini kyaknya sepi. Kita menunggu depan Mall saja yuk. Boleh berdua kesana
menggunakan payungnya?"
 Wanita ini memiringkan seperempat tubuhnya. Menatapku. Seakan menilai sesuatu. Aku
membalas tatapannya sambil memastikan ajakan sambil mengangguk. Disertai sentuhan
kecil di tangan, akhirnya kami berjalan menuju Mall. Berdua di bawah payung hitam.
 Sepanjang perjalanan, aku menanyakan namanya dan berbincang tentang beberapa hal-hal
kecil lain. Dia juga setuju untuk diajak makan dan minum dulu. Dan juga setuju untuk
ditemani pulang ke kediamannya karena malam telah larut.
 **
 Aku telah lupa dengan peristiwa suara kunci tadi. Di depanku kini duduk seorang diva. Aku
baru menyadarinya saat terang lampu Coffe Shop depan Mall . Namanya Wati. Atau tadi
dia sebut Wa Ti'i? Entah, detail nama tidak terlalu penting. Toh nanti dapat diketahui
belakangan. Yang penting, wanita ini memang Diva. Tubuhnya semampai, dengan pinggang
ramping dan dada menantang. Beberapa mata lelaki tak henti melirik. Aku bangga menjadi
pusat perhatian.
 Ketika bibir mungil itu menyerumput Capucinno hangatnya, saya tanya, "Jadi, Mbak Wati
mau pulang kemana nanti?"
 "Waero-Ero, Mas!", tukasnya lembut tanpa memandangku.
 Dug... aku tercekat. Waero-Ero? Daerah mana itu? Barusan kemarin malam nama ini
kudengar dari sebuah status di Facebook. Itu nama tempat para pelarian orang-orang yang
tidak bersetuju dengan kebijakan Kesultanan Butuuni di masa lalu. Lalu mereka membuat
Kerajaan Baru yang terisolasi dan konon masih eksis sampai saat ini.
 Dug.. aku masih tertegun memandang bibir cantik Diva di depanku. Tidak ada perubahan.
 Wanita ini malah tambah anggun. Gerak geriknya benar-benar feminin, mirip ratu atau
gadis-gadis keraton. Aku tak bosan menikmati keindahan di depanku.
 Tapi, ketika wanita ini mengangkat wajahnya, aku tak berani lagi menatap matanya
berlama-lama. Ada selintas tatapan aneh disana. Tatapan yang sukar diungkap kata-kata..
 "Mas.. pulang yuk!", ajaknya mengagetkanku. Di luar memang hujan sudah reda.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar