Novel Sejarah Butun Imajiner
Eros in Waero-ero
Episode 1
_
SANG DIVA
Lampu
kantorku baru saja dipadamkan. Ruangan kantor berukuran sedang itu tentu saja
menjadi
temaram. Satu-satunya sumber pencahayaan kini hanyalah dari atas dari jendela
kecil
disisi kanan ruangan. Aku menengok jam di pergelangan tangan. Waktu kini
menunjukkan
pukul 10:22. Diluar gelap disertai gerimis. Oh ya, ini malam Jumat.
Ketika
pintu ruangan itu kukunci, seperti biasa ada bunyi "klik". Tapi,
malam ini kok lain.
Dari
dalam ruangan, terdengar pula bunyi klik yang sama. Sekilas bulu kuduk
meremang.
Hanya
sesaat, kesadaranku kembali pulih. Perlahan anak kunci itu kutarik. Tapi,
karena
gugup,
kunci itu jatuh ke lantai.
"Kloneng..",
suara anak kunci jatuh menyentuh lantai.
Dan,
dari arah dalam ruangan, kali ini jelas kembali terdengar bunyi yang sama. Echo
yang
sama.
Gila. Kali ini, bulu kudukku benar-benar berdiri. Tanpa berpikir panjang, anak
kunci
itu
kusambar. Dengan bergegas dan secepatnya, keluar dari areal bangunan
perkantoran.
Aku
sudah tidak peduli lagi pada bunyi echo sepatu dan langkah yang sama di
belakangku.
Dengan napas terengah-engah, tiga menit kemudian, aku sudah sampai di
jalan
raya.
**
Hari
ini, aku mengutuk diri, mengapa tadi tidak bawa kenderaan. Jam begini, dengan
disertai
gerimis pula, kenderaan ojek tinggal satu dua. Ternate memang kota yang tidak
dilayani
taksi umum, seperti kota-kota lainnya.
Menyusuri
trotoar jalan, langkahku bergegas mencari pangkalan ojek. Seingatku, gak jauh
dari
situ memang ada halte bis yang ketika malam tiba dijadikan tempat ojek
nongkrong.
Jaraknya
cukup dekat.
Mendekati
halte, dari jauh terlihat ada sesosok tubuh lain yg juga sedang menunggu. Aku
senang
karena sudah mendapat teman. Ini manusia pertama yg kutemui sejak keluar
ruangan
tadi. Wah, asik dan ternyata sesosok tubuh tadi adalah seorang wanita.
Hanya
berdua di bawah halte bis itu, kulihat perempuan ini terlihat kikuk. Biasa,
sebagaimama
biasa, rumusnya pendekatannya adalah, "man first!". Di
tangannya kulihat memegang payung hitam.
"Mau
pulang Mbak", tanyaku ramah. Wanita itu menoleh. Wajahnya cantik disinari
lampu
merkuri
dari seberang jalan. Dia mengangguk, dengan sedikit senyum.
"Sudah
lama menunggu?", tanyaku lagi. Jawabannya sama. Hanya anggukan. Tapi kali
ini
tanpa
senyum.
"Tunggu
jemputan?", aku tanya lagi. Berharap dijawab dengan suara. Tapi hanya
mendapat
gelengan. Namun, senyumnya kembali terlihat. Cantik. Berpadu dengan
keanggunan.
Duh, ini cewek bikin penasaran saja.
"Memangnya
mau pulang kemana?", aku berusaha untuk mengajaknya bicara.
Dan
akhirnya, wanita ini bersuara juga. Masih tetap singkat.
"Pulang!".
Sejenak
terdiam beberapa saat. Susah juga pendekatan pada wanita ini. Aku memutar otak
sampil
pura-pura melengok mencari kenderaan. Tapi gerimis memang berubah menjadi
deras.
Itu yang membuat ojeg malas berkeliling.
Tiba-tiba,
aku dapat ide. “PDKT” payung!
"Mbak,
disini kyaknya sepi. Kita menunggu depan Mall saja yuk. Boleh berdua kesana
menggunakan
payungnya?"
Wanita
ini memiringkan seperempat tubuhnya. Menatapku. Seakan menilai sesuatu. Aku
membalas
tatapannya sambil memastikan ajakan sambil mengangguk. Disertai sentuhan
kecil
di tangan, akhirnya kami berjalan menuju Mall. Berdua di bawah payung hitam.
Sepanjang
perjalanan, aku menanyakan namanya dan berbincang tentang beberapa hal-hal
kecil
lain. Dia juga setuju untuk diajak makan dan minum dulu. Dan juga setuju untuk
ditemani
pulang ke kediamannya karena malam telah larut.
**
Aku
telah lupa dengan peristiwa suara kunci tadi. Di depanku kini duduk seorang
diva. Aku
baru
menyadarinya saat terang lampu Coffe Shop depan Mall . Namanya Wati. Atau tadi
dia
sebut Wa Ti'i? Entah, detail nama tidak terlalu penting. Toh nanti dapat
diketahui
belakangan.
Yang penting, wanita ini memang Diva. Tubuhnya semampai, dengan pinggang
ramping
dan dada menantang. Beberapa mata lelaki tak henti melirik. Aku bangga menjadi
pusat
perhatian.
Ketika
bibir mungil itu menyerumput Capucinno hangatnya, saya tanya, "Jadi, Mbak
Wati
mau
pulang kemana nanti?"
"Waero-Ero,
Mas!", tukasnya lembut tanpa memandangku.
Dug...
aku tercekat. Waero-Ero? Daerah mana itu? Barusan kemarin malam nama ini
kudengar
dari sebuah status di Facebook. Itu nama tempat para pelarian orang-orang yang
tidak
bersetuju dengan kebijakan Kesultanan Butuuni di masa lalu. Lalu mereka membuat
Kerajaan
Baru yang terisolasi dan konon masih eksis sampai saat ini.
Dug..
aku masih tertegun memandang bibir cantik Diva di depanku. Tidak ada perubahan.
Wanita
ini malah tambah anggun. Gerak geriknya benar-benar feminin, mirip ratu atau
gadis-gadis
keraton. Aku tak bosan menikmati keindahan di depanku.
Tapi,
ketika wanita ini mengangkat wajahnya, aku tak berani lagi menatap matanya
berlama-lama.
Ada selintas tatapan aneh disana. Tatapan yang sukar diungkap kata-kata..
"Mas..
pulang yuk!", ajaknya mengagetkanku. Di luar memang hujan sudah reda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar