Makalah
SEMANTIK BAHASA INDONESIA
RELASI MAKNA,
PERUBAHAN MAKNA, DAN MEDAN MAKNA
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK VI
Devi Rahayu
Nurul Kurniawan : 213010045
Rahima : 213010026
Musnia :
213010029
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH BUTON
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
BAUBAU
2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh. Allahamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang
ALLAH SWT berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya
layak untuk ALLAH SWT, Tuhan seluruh alam atas segala berkat, rahmat, taufik,
serta hidayah-Nya yang tidak terkira besarnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “RELASI MAKNA, PERUBAHAN MAKNA, DAN MEDAN
MAKNA”. Dalam penyusunannya, Penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai
pihak,karenaitu penulis mengucapkan terimakasikasih kepada Bapak Asrul Nazal,
S.Pd., M.Hum. Yang telah memberikan dukungan dankepercayaan. Dari sanalah semua
kesuksesan ini berawal, Insaallah semua ini bias memberikan sedikit kebahagian
dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi. Meskipun penulis berharap isi
makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar
makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini
bermanfaat bagi semua pembaca.
Baubau,
11 April 2015
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………….……………………….1
A. Latar
Belakang…………………………………………….………………………….......1
B. Rumusan Masalah………………………………………….……………………………..2
C. Tujuan Makalah………………………………………….……………………………….2
BAB II PEMBAHASAN……………………………….…………………………………..3
A. Relasi
Makna……………………………....……….……………….................………....3
B. Perubahan
Makna…………………………………..……..……………………………...12
C. Medan Makna……………………………………..……………………………………...22
BAB III PENUTUP…………………………………….…………………………………..25
A. Kesimpulan………………………………………….………………………………...…25
B. Saran…………………………………………….…………………………………...…..25
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………..……………………..iii
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam suatu bahasa, makna kata
saling berhubungan, hubungan ini disebut relaksi makna. Relasi makna dapat
berwujud bermacam-macam. Dalam setiap bahasa termasuk bahasa Indonesia,
seringkali kita temukan adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara
sebuah kata atau satuan bahasa lainya dengan kata satuan bahasa lainnya. Hubungan
atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi),
kebalikan makna (antonimi) kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas),
ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna
(redundansi), dan sebagainya.
Perkembangan dalam bidang ilmu dan kemajuan dalam bidang
teknologi dapat menyebabkan terjadinya perubahan makna sebuah kata. Di sini
sebuah kata yang tadinya mengandung konsep makna mengenai sesuatu yang
sederhana, tetap digunakan walaupun konsep makna yang dikandung telah berubah
sebagai akibat dari pandangan baru. Makna sebagai unsur bahasa merupakan salah
satu unsur yang memiliki potensi untuk berubah karena makna berkaitan
dengan konsep-konsep dan pikiran manusia yang tidak pernah berhenti. Perubahan
makna terjadi dipengaruhi oleh beberapa sebab serta terdapat berbagai jenis
perubahan makna diantaranya yaitu,meluas menyempit,perubahan total,membaik,
memburuk. Adapun pandangan saya tentang perubahan makna pada laporan
bacaan ini adalah sebagai berikut.
Medan makna adalah bagian dari sistem semantic bahasa yang
menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta
tertentu yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya
berhubungan. Dalam beberapa hal medan makna dapat diasosiasikan dengan kelas
gramatikal yang dan dapat dilambangkan dalam bentuk bentuk kelas gramatikal
yang berbeda.
B.
Rumusan Masaalah
1. Apa
yang mempengaruhi relasi makna?
2. Bagaimana
proses terjadinya perubahan makna?
3. Apa-apa
saja yang terdapat dalam medan makna?
C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui dan memahami relasi makna
2. Mengetahui penyebab dan proses terjadinya perubahan
makna
3. Mengetahui apa yang terdapat dalam medan makna
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Relasi
Makna
Dalam setiap bahasa, termasuk
bahasa Indonesia, makna
kata saling berhubungan, hubungan kata itu disebut relasi makna. Relasi makna
dapat berwujud bermacam- macam antara lain : sinonimi, antonimi dan oposisi, homonimi,
homofoni, homografi, hiponimi dan
hipernimi, polisemi, ambiguitas, redundansi.
1. Sinonimi
Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno,
yaitu onoma yang berarti ‘nana’, dan syn yang berarti ‘nama lain untuk benda
atau hal yang sama’. secara samantik Verhaar (1978) mendefenisikan
sinonimi sebagai ungkapan (bias berupa kata, frase, atau kalimat) yang
maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.
Contoh :
Buruk
= jelek Hancur = musnah
Laris
= laku Pintar = pandai
Dahaga = haus Hadiah = pemberian
Datang = tiba Usang = lama
Pulang = kembali
= balik Mati = meninggal
Masyarakat = rakyat
= warga Tampan = ganteng
Pria = laki-
laki Hanjur = musnah
Enak = lezat
Dari contoh diatas dapat dilihat kata –
kata bersinonim, dan tidak semua sinonim bisa dipertukarkan begitu saja.
Contoh kalimat :
Anjing
meninggal ditabrak mobil
Kata meninggal pada kalimat di atas
tidak tepat, karena kata meninggal lebih tepat ditujukan kepada manusia, atau
kata meninggal diganti dengan kata mati. Yang lebih tepatnya anjing mati
ditabrak mobil. Jadi kata sinonim bisa digunakan sesuai dengan kepada siapa
yang ditujukan pembicaraan tersebut. Misalnya kata aku dan saya kedua kata
tersebut bersinonim, tapi kata aku lebih tepat dipakai untuk teman sebaya, dan
kata saya lebih tepat digunakan untuk orang yang lebih tua dari kita. Jadi,
kata sinonim digunakan sesuai dengan waktu, tempat,bidang kegiatan,dan lain –
lain.
Makna dua buah kata yang bersinonim
tidak pernah mempunyai makna yang sama persis, mutlak atau simetris.
Kesinoniman mutlak atau kesinoniman simetris tidak ada dalam perbendaharaan
kata dalam bahasa Indonesia. Hal itu disebabkan oleh faktor-faktor sebagai
berikut:
a. Waktu
Misalnya kata hulubalang dan komandan
merupakan dua buah kata yang
bersinonim tetapi karena faktor waktu, maka kedua kata tersebut tidak bisa
dipertukarkan.Hulubalang hanya cocok untuk situasi kuno,
sedangkan komandan cocok untuk situasi masa kini.
b. Tempat atau daerah
Misalnya kata saya dan beta merupakan
dua kata yang bersinonim , tetapi kedua kata tersebut tidak dapat
dipertukarkan. Beta hanya cocok digunakan dalam konteks
pemakaian bahasa Indonesia timur (Maluku).
c. Sosial
Misalnya aku dan saya adalah
dua buah kata yang bersinonim, teapi kata aku hanya dapat digunakan untuk teman
sebaya dan tidak digunakan kepada orang yang lebih tua atau status sosialnya
lebih tinggi.
d. Bidang Kegiatan
Misalnya kata tasawuf,
kebatinan, dan mistik adalah tiga buah kata yang
bersionim. Namun kata tasawuf hanya lazim dalam agama
islam, kebatinan untuk yang bukan islam dan mistik untuk
semua agama.
e. Nuansa Makna
Misalnya kata-kata melihat,
melirik, melotot, meninjau, atau mengintip adalah
kata-kata yang bersinonim. Kata melihat bisa digunakan secara umum, tetapi
kata melirik hanya digunakan untuk menyatakan
melihat dengan sudut mata, melolot hanya digunakan dengan mata
terbuka lebar, meninjau hanya digunakan hanya dugunakan hanya
dugunakan untuk menyatakan melihat dari tempat yang jauh.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam sinonim bahasa
Indonesia.
1) tidak semua
kata dalam bahasa Indonesia memiliki sinonim. Misalnya kata salju, batu, kuning
, beras, tidak mempunyai sinonim.
2) kata-kata
bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian. Mislanya
katabenar dan betul,
tetapi kata kebenaran dan kebetulan tidak
bersinonim.
3) kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada
bentuk dasar tetapi memiliki
sinonim pada bentuk
jadian. Misalnya kata jemur tidak mempunyai sinonim tetapi
kata menjemur ada sinonimnya, yaitu mengeringkan, dan berjemur besinonim dengan
berpanas.
4) ada kata-kata
yang yang dalam arti sebenarnya tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam arti
kiasan
justru mempunyai sinonim, misalnya kata hitam dalam
arti sebenarnya tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam arti kiasan hitam bersnonim
dengan gelap, buruk, jahat dsb.
2. Antonimi dan oposisi
Verhaar (1978) mendefinisikan antonimi adalah
ungkapan (bisa berupa kata, tetapi dapat juga berbentuk frase, atau kalimat)
yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Antonimi sering
disebut dengan lawan kata, maksudnya maknanya kebalikan dari makna ungkapan
lain.
Contoh :
Jujur
= bohong Mahal =
murah
Tipis
= tebal Kaya =
miskin
Rajin = malas Pintar =
bodoh
Surga
= neraka Gila
= waras
Berdasarkan sifatnya, oposisi dapat dibedakan menjadi :
a. Oposisi
Mutlak
Disini terdapat pertentangan makna
secara mutlak. Umpamanya kata masuk dan keluar. Diantara masuk dan keluar
terdapat makna yang mutlak, sebab sesuatu yang masuk tentu tidak ( belum )
keluar ; sedangkan sesuatu yang keluar tentu sudah masuk. Misalnya naik dan
turun. Diantara naik dan turun terdapat makna yang mutlak, sebab sesuatu yang
naik tentu tidak (belum) turun; sedangkan sesuatu yang turun tentu sudah
naik.kedua proses ini tidak dapat berlangsung bersamaan, tetapi secara
bergantian.
b. Oposisi
Kutub
Makna kata yang termasuk oposisi kutub
ini pertentangan tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat gradisi, artinya
terdapat tingkat – tingkat makna pada kata tersebut. Misalnya kata kaya dan
miskin adalah dua buah kata yang beroposisi kutub. Pertentangan antara kaya dan
miskin tidak mutlak. Orang yang tidak kaya belum tentu merasa miskin, dan
begitu juga orang yang tidak miskin belum tentu merasa
Kaya. Bila orang yang biasa berpendapatan satu bulan enam
juta , lalu tiba – tiba menjadi satu juta rupiah, sudah merasa dirinya miskin,
sebaliknya orang seseorang yang setiap bulan hanya berpenghasilan Rp 100.000
,lalu tiba- tiba berpenghasilan Rp 500.000 sudah merasa dirinya kaya.
c. Oposisi
Hubungan
Oposisi
hubungan ini sifatnya saling melengkapi. Artinya kehadiran kata yang satu
karena ada kata yang lain yang menjadi oposisinya.Misalnya berlajar dan
mengajar walaupun maknanya berlawanan tapi kejadiannya serempak. Proses belajar
dan mengajar terjadi pada waktu yang bersamaan sehingga bisa dikatakan tadakkan
ada proses mengajar jika tak ada proses belajar. Contoh memberi dan menerima
walaupun maknanya berlawanan tapi kejadiannya serempak. Proses memberi dan
menerima terjadi pada waktu bersamaan sehingga bisa dikatakan tidakkan ada
proses memberi jika tidak ada yang menerima. Contoh lainnya kata menjual beroposisi
dengan membeli, suami degan istri.Kata-kata
yang beropsosisi hubungan ini bisa berupa kata-kata kerja seperti maju-mundur,pulang-pergi, pasang-surut, atau
berupa kata benda misalnya ayah-ibu, guru-murid
d.
Oposisi Hierarkial
Makna kata kata yang beroposisi
hierakrial ini menyatakan suatu deret jenjang atau tindakan. Oleh karena itu
kata-kata yang beroposisi hierarkial ini adalah kata-kata yang berupa nama
satuan ukuran (berat, panjang dan isi), nama satuan hitungan dan penanggalan,
nama jenjang kepangkatan dan sebagainya.
Misalnya meter beroposisi dengan kilometer karena beraada
dalam satuan yang menyakatan panjang. Kuintal beroposisi
dengan ton karena keduanya berada dalam satuan ukuran yang
menyatakan berat.
e. Oposisi
majemuk
Oposisi
majemuk ini beroposisi lebih dari sebuah kata. Mislanya kata berdiri bisa beroposisi
dengan kata duduk, berbaring,berjongkok dsb. Misalnya kata diam beroposisi
dengan berbicara, bergerak, dan bekerja. Kata
– kata diatas lazim disebut oposisi majemuk.
3. Homonimi,
Homofoni, Homografi
a. Homonimi
Verhaar (1978) mendefiniskan homonimi
sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang bentuknya sama dengan
ungkapan lain tetapi maknanya tidak sama.
Misalnya bisa yang bermakna racun ular dan bisa yang
bermakna sanggup.
Ada dua sebab kemungkinan terjadinya homonimi yaitu:
1.
Bentuk-bentuk yang berhomonimi itu
berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya bisa yang
berati racun berasal dari bahasa Melayu, sedangkan bisa yang
berarti sanggup berasal dari bahasa Jawa.
2.
Bentuk-bentuk yang berhomonimi itu
terjadi sebagai hasil proses morfologis.
Mislanya mengukur dalam
kalimat. Ibu mengukur kelapa di dapur, adalah berhomonim pada
kalimat
ayah mengukur luasnya
halaman rumah kami.
Homonimi juga terjadi pada tataran
morfem, kata, frase, dan kalimat
a)
Homonimi antarmorfem, tentunya antara
sebuah morfem terikat dengan morfem terikat lainnya
Mislanya morfem –nya pada
kalimat, ini buku saya, itu bukumu dan yang disana bukunya berhomonim dengan –nya pada
kalimat mau belajar tapi bukunya tidak ada.
b)
Homonimi antarkata misalnya bisa yang
bermakna sanggup dan bisa yang bermakna racun
ular. Semi yang
bermakna tunas dan semi yang bermakna setengah.
c)
Hominimi antarfrase, misalnya antara
frase cinta anak yang bermakan cita seorang anak kepada
orangtuanya dengan cinta anak yang bermakna cinta orang tua
kepada anaknya. lukisan saya yang bermakna lukisan karya saya,
lukisan milik saya atau lukisan wajah saya.
d)
Homonimi antarkalimat misalnya istri
lurah yang baru itu cantik yang bermakna lurah yang baru
dilantik itu mempunyai istri yang cantik,
dengan lurah itu baru saja menikah dengan seorang wanita
cantik.
b. Homofoni
Homofoni berasal dari dua kata yaitu
kata homo yang bermakna sama dan fonyang bermakna
bunyi, jadi homofoni adalah kata-kata yang mempunnyai bentuk
yang berbeda, maknanya berbeda tetapi mempunyai bunyi yang sama. Misalnya
kata bangdengan bank. Bank adalah
lembaga yang mengurus lalu lintas uang, sedangkan bangberasal dari
abang yang bermakna kakak laki-laki. Sangsi dengan sanksi,
sangsi yang bermakna ragu dengan sanksi yang bermakna akibat atau konsekuensi.
c. Homografi
Homografi secara etimologi beras dari
kata homo yang bermakna sama dengangraf yang
bermakna tulisan, jadi homografi adalah kata-kata mempunyai
tulisan yang sama tetapi bunyi dan maknanya berbeda. Misalnya teras dengan
teras, teras yang pertama dilafalkan teras bermakna
inti kayu dan teras yang kedua dilafalkan teras yang
bermakna bagian dari rumah. Apel dengan apel, apel yang
pertama dilafalkan apěl yang bermakna upacara dan apel yang
dilafalkan apel yang bermakna
buah apel.
4. Hiponimi dan Hipernimi
Kata hiponimi barasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti
‘nama’ dan hypo berarti’di bawah’. Jadi secara harfiah berarti ‘nama yang
termasuk di bawah nama lain. Secara semantik Verhaar (1978:137) menyatakan
hiponim ialah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase
atau kalimat) yang maknanya dianggapmerupakan bagian dari makna suatu
ungkapan lain.
Hipernimi adalah kata-kata yang mewakili banyak kata lain.
Kata hipernimi dapat menjadi kata umum dari penyebutan kata-kata lainnya. Konsep
hipernimi adalah kebalikan dari konsep hiponimi. Konsep hiponimi dan hipernimi
mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata
yang berada di bawah makna kata lainnya. Oleh karena itu, ada kemungkinan
sebuah kata yang merupakan hipernim dari sebuah kata merupakan hipernim dari
kata lainnya, akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang hierarkial di atasnya.
Contoh:
Hipernimi:
Ikan
Hiponimi: Lumba-lumba, tenggiri, hiu, mujaer,
sepat, mas, nila dan sebagainya.
Hipernimi: Bunga
Hiponimi: mawar, melati, anggrek, lili, dan
sebagainnya.
5. Polisemi
Polisemi lazim
diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, frase, ) yang memiliki makna
lebih dari satu.
Misalnya kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki
makna
-Bagian tubuh dari leher ke atas (seperti terdapat
pada manusia dan hewan)
-Bagian dari sesuatu yang terletak di bagian atas atau
depan yang merupakan bagian yang
penting (kepala Ketera api, kepala
meja).
-Bagian dari sesuatu yang berbentuk bulat (kepala
paku, kepla jarum)
-Pemimpin atau ketua (kepala sekolah, kepala
kantor)
-Jiwa orang seperti dalam kalimat “setiap kepala
menerima bantuan RP. 5000.000”
-Akal budi seperti dalam kalimat “ badanya besar
tetapi kepalanya kosong”.
Konsep polisemi hampir sama dengan
konsep homonimi. Perbedaanya adalah homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan
dua buah kata atau lebih yang kebetulan maknanya sama. Tentu saja homonimi itu
bukan sebuah kata maka maknanya pun berbeda. Makna kata pada homonimi
tidak ada kaitannya atau hubungannya sama sekali antara yang satu dengan yang
lainnya. Sedangkan polisemi adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih
dari satu, makna kata pada polisemi masih ada hubungannya antara makna yang
satu dengan yang lain karen memang kembangkan dari komponen-komponen makna
kata-kata tersebut.
6. Ambiguitas
Ambiguitas
adalah ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua
arti. Pengertian ambiguitas hampir sama dengan pengertain polisemi. Perbedaanya
terletak pada kegandaan makna dalam polisemi dari kata, sedangkan kegandaan
makna pada ambiguitas berasal dari satuan yang lebih besar yaitu frase atau
kalimat dan terjadi akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda.
Misalnya buku
sejarah baru dapat ditasfirkan sebagai (1) buku sejarah
itu baru terbit, (2) buku itu berisi sejarah zaman baru. Contoh lain orang malas
lewat sanadapat ditafsirkan sebagai (1) jarang ada orang yang mau
lewat si sini, atau (2) yang mau lewat di sini hanya
orang-orang malas.
Pengertian ambiguitas hampir sama
dengan homonimi. Perbedaanya terletak pada apabila homonimi dilihat sebagai
bentuk yang kebetulan sama dan dengan makna yang berbeda, sedangkan ambiguitas
adalah sebuah bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya
penafsiran struktur gramatikal bentuk tersebut. Ambiguitas hanya terjadi pada
tataran frase dann kalimat sedangkan homonimi dapat terjadi pada semua satuan
gramatikal.
7. Redundansi
Redudansi
artinya sebagai berlebih- lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk
ujaran. Umpamanya ibu membuat kue, maknanya tidak akan berubah bila
dikatakan kue dibuat oleh ibu. Pemakaian kata oleh pada
kalimat yang kedua dianggap sebagai sesuatu yang redundansi, yang sebenarnya
tidak perlu. Contoh lain ; petani mencangkul kebunnya, maknanya tidak akan
berubah bila dikatakan petani sedang mencangkul kebunnya. Pemakaian kata
sedang pada kalimat yang kedua dianggap sebagai sesuatu yang redundansi, yang
sebenarnya tidak perlu. Makna adalah sesuatu yang fononema dalam ujaran ,
sedangkan informasi adalah sesuatu yang diluar ujaran. Jadi yang sama
antara kalimat pertama dan kalimat kedua di atas bukan maknanya melainkan
informasi.
B. Perubahan
makna
1.
Sebab-
Sebab Perubahan
a. Perkembangan dalam Ilmu dan
Teknologi
Perkembangan dalam bidang ilmu dan
kemajuan dalam bidang teknologi dapat menyebabkan terjadinya perubahan makna
sebuah kata. Di sini sebuah kata yang tadinya mengandung konsep makna mengenai
sesuatu yang sederhana, tetap digunakan walaupun konsep makna yang dikandung
telah berubah sebagai akibat dari pandangan baru, atau teori baru dalam satu
bidang ilmu atau sebagai akibat dalam perkembangan teknologi. Perubahan makna
kata sastra dan makna ‘tulisan’ sampai pada makna ‘karya imaginatif’ adalah
salah satu contoh perkembangan bidang keilmuan. Pandangan-pandangan baru atau
teori baru mengenai sastra menyebabkan makna kata sastra itu berubah. Pandangan
baru atau teori barulah yang menyebabkan kata sastra yang tadinya bermakna buku
yang baik isinya dan baik bahasanya ‘menjadi berarti’ karya yang bersifat
imaginatif kreatif.
b. Perkembangan Sosial dan Budaya
Perkembangan dalam bidang sosial
kemasyarakatan dapat menyebabkan terjadinya perubahan makna. Di sini sama
dengan yang terjadi sebagai akibat perkembangan dalam bidang ilmu dan
teknologi, sebuah kata yang pada mulanya bermakna ‘A’, lalu berubah menjadi bermakna
‘B’ atau ‘C’ jadi, bentuk katanya tetap sama tetapi konsep makna yang
dikandungnya sudah berubah. Misalnya kata saudara dalam bahasa
Sansakerta bermakna ‘seperut’ atau ‘satu kandungan’. Kini kata saudara,
walaupun masih juga digunakan dalam arti ‘orang yang lahir dari kandungan yang
sama’ seperti dalam kalimat Saya mempunyai seorang saudara di sana,
tetapi digunakan juga untuk menyebut atau menyapa siapa saja yang dianggap
sederajat atau berstatus sosial yang sama. Misalnya dalam kalimat Surat
Saudara sudah saya terima, atau kalimat Dimana Saudara dilahirkan ?.
c. Perbedaan Bidang Pemakaian
Dalam bagian yang lalu sudah
dibicarakan bahwa setiap bidang kehidupan atau kegiatan memiliki kosakata
tersendiri yang hanya dikenal dan digunakan dengan makna tertentu dalam bidang
tersebut. Umpamanya dalam bidang pertanian ada kata- kata benih,
menuai, panen menggarap, membajak, menabur, menanam, pupuk, dan hama.
Dalam bidang pendidikan formal di sekolah ada kata- kata murid, guru,
ujian, menyalin, menyontek, membaca, dan menghapal.
Kata- kata yangt menjadi kosakata
dalam bidang-bidang tertentu itu dalam kehidupan dan pemakaian sehari- hari
dapat terbantu dari bidangnya dan digunakan dalam bidang lain atau menjadi
kosakata umum. Oleh karena itu, kata-kata tersebut menjadi memiliki makna baru
atau makna lain di samping makna aslinya (makna yang berlaku dalam bidangnya).
Misalnya kata menggarap yang berasal dari bidang pertanian
dengan segala macam derivasinya, seperti tampak dalam frase menggarap
sawah, tanah garapan, dan petani penggarap, kini banyak juga
digunakan dalam bidang- bidang lain dengan makna ‘mengerjakan’ seperti tampak
digunakan dalam frase menggarap skripsi, menggarap usul para anggota,
menggarap generasi muda, dan menggarap naskah drama.
d. Adanya Asosiasi
Kata- kata yang digunakan di luar
bidangnya, seperti dibicarakan di atas masih ada hubungan atau pertautan
maknanya dengan makna yang digunakan dalam bidang asalnya. Umpamanya kata mencatut yang
berasal dari bidang atau lingkungan perbengkelan dan pertukangan mempunyai
makna bekerja dengan menggunakan catut. Dengan menggunakan catut ini maka
pekerjaan yang dilakukan, misalnya mencabut paku, menjadi dapat dilakukan
dengan mudah. Oleh karena itu, kalau digunakan dalam frase seperti mencatut
karcis akan memiliki makna ‘memperoleh keuntungan dengan mudah melalui
jual beli karcis’.
Agak berbeda dengan perubahan makna
yang terjadi sebagai akibat penggunaan dalam bidang yang lain, di sini makna
baru yang muncul adalah berkaitan dengan hal atau peristiwa lain yang berkenaan
dengan kata tersebut.
Umpamanya kata amplop yang
berasal dari bidang administrasi atau surat- menyurat, makna asalnya adalah
‘sampul surat’. Ke dalam amplop itu selain biasa dimasukkan surat
tetapi bisa pula dimasukkan benda lain, misalnya uang. Oleh karena itu, dalam
kalimat beri saja amplop maka urusan pasti beres, kata amplop di
situ bermakna ‘uang’ sebab amplop yang dimaksud bukan berisi
surat atau tidak berisi apa- apa melainkan berisi uang sebagai sogokan.
Asosiasi antara amplop dengan uang ini
adalah berkenaan dengan wadah. Jadi, menyebut wadahnya yaitu amplop tetapi
yang dimaksud adalah isinya, yaitu uang.
e. Pertukaran Tanggapan Indra.
Alat indra kita yang lima sebenarnya
sudah mempunyai tugas-tugas tertentu untuk menangkap gejala-gejala yang terjadi
di dunia ini. Umpamanya rasa pahit, getir, dan manis harus ditanggap oleh alat
perasa lidah. Rasa panas, dingin, dan sejuk harus ditanggap oleh alat perasa
pada kulit. Gejala yang berkenaan dengan cahaya seperti terang, gelap, dan
remang- remang harus ditanggap dengan alat indra mata; sedangkan yang berkenaan
dengan bau harus ditanggap dengan alat indra penciuman, yaitu hidung.
Namun, dalam penggunaan bahasa
banyak terjadi kasus pertukaran tanggapan antara indra yang satu dengan indra
lain. Rasa pedas, misalnya, yang seharusnya ditanggap oleh alat indra perasa
pada lidah, tertukar menjadi ditanggap oleh alat indra pendengaran seperti
tampak dalam ujaran kata-katanya cukup pedas. Keadaan ini,
pertukaran alat indra penanggap, biasa disebut dengaistilah sinestesia.Istilahiniberasaldaribahasayunanisun artinya ‘sama’ dan aisthetikas
artinya ‘tampak’.
a. Perbedaan Tanggapan
Setiap unsur leksikal atau kata
sebenarnya secara sinkronis telah mempunyai makna leksikal yang teteap. Namun,
karena panadangan hidup dan ukuran dalam norma kehidupan di dalam masyarakat
maka banyak kata yang menjadi memiliki nilai rasa yang rendah (peyoratif), kurang
menyenangkan. Disamping itu ada juga yang menjadi memiliki nilai rasa yang
tinggi (amelioratif), atau yang mengenakkan.
b. Adanya Penyingkatan
Dalam bahasa Indonessia ada
bsejumlah kata atau ungkapan yang karena sering digunakan maka kemudian tanpa
diucapkan atau dituliskan sevara keseluruhan orang sudah mengerti maksudnya.
Oleh karena itu maka kemudian orang lebih banyak menggunakan singkatannya saja
daripada menggunakan bentuk utuhnya. Misalnya kalau dikatakan Ayahnya meninggal
tentu maksudnya adalah meninggal dunia. Jadi, meninggal adalah bentuk singkata
dari ungkapan meninggal dunia.
Kalau disimak sebetulnya dalam
khusus penyingkatan bukanlah peristiwa perubahan makna yang terjadi sebab makna
atau konsep itu tetap. Yang terjadi adalah perubahan bentuk kata. Kata yang
semula berbentuk utuh (panjang) disingkat menjadi bentuk tidak utuh yang
pendek. Gejala penyingkatan ini bisa terjadi pula pada bentuk-bentuk yang sudah
dipendek kan seperti AMD adalah singkatan dari Abri Masuk Desa; dan
Abri itu sendiri adalah kependekkan dari Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia.
Begitu banyaknya kependekkan ini
sehingga banyak orang yang tidak tahu lagi bagaimana bentuk utuhnya,
seperti radar, nilon, tilang.
c. Proses Gramatikal
Proses gramatikal seperti afiksasi,
reduplikasi, dan komposisi (pengubahan kata) akan menyebabkan pula terjadinya
perubahan makna. Tetapi dalam hal ini yang terjadi sebenarnya bukan perubahan
makna, sebab bentuk kata itu sudah berubah sebagai hasil proses gramatikal.
Jadi, tidaklah dapat dikatakan kalau dalam hal ini telah terjadi perubahan
makna sebab yang terejadi adalah proses gramatikal dan proses gramatikal itu
telah “melahirkan” makna-makna gramatikal.
d. Pengembangan Istilah
Salah satu upaya dalam pengemabangan
atau pembentukan istilah baru adalah dengan memanfaatkan kosa kata bahasa
Indonesia yang ada dengan jalan memberi makna baru, entah dengan menyempitkan
makna tersebut, meluaskan, maupun memberi arti baru sama sekali.
2. Jenis Perubahan
a.
Meluas
Yang dimaksud dengan perubahan makna
meluas adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada
mulanya hanya memiliki sebuah ‘makna’, tapi kemudiankarena berbagai fgaktor
menjadi memiliki makna-makna lain.
b.
Menyempit
Yang dimaksud dengan perubahan
menyempit adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya
mempunyai makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada
sebuah makna saja. Misalnya, kata sarjana yang pada mulanya berarti ‘orang
pandai’ atau ‘cendikiawan’, kemudian hanya berarti oarang yang lulus dari
perguruan tinggi.
c.
Perubahan Total
Yang dimaksud dengan perubahan total
adalah berubahnya sama sekali makna sebuah kata dan makna asalnya. Memang ada
kemungkinan makna yang dimiliki sekarang masih ada sangkut pautnya dengan makna
asal, tetapi sangkut pautnya nampaknya sudah jauh sekali. Misalnya, kata
ceramah pada mulanya berarti ‘cerewet’ atau ‘banyak cakap’ tetapi ini berarti
‘pidato atau uraian’ mengenai sesuatu hal yang disampaikan di depan orang
banyak.
d.
Penghalusan (Eufemia)
Dalam pembicaraan mengenai
penghalusan ini kita berhadapan dengan gejala ditampilkannya kata-kata atau
bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna kata yang lebih halus atau lebih
sopan daripada yang akan digantikan kecenderungan utuk menghaluskan makna kata
tanpaknya merupakan gejala umum dalam masyarakat bahasa Indonesia.
Gejala penghalusan makna ini bukan
barang baru dalam masyarakat Indonesia. Orang-orang dulu yang karena
kepercayaan atau sebab-sebab lainnya akan mengganti katabuaya atau harimau dengan
kata nenek; mengganti kat ular dengan kata akar atau oyod.
e.
Pengasaran
Yang disebut dengan perubahan pengasaran
adalah usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa
dengan kata yang maknanya kasar. Usaha atau gejala pengasaran ini biasanya
dilakukan orang dalam situasi yang tidak ramah atau untuk menunjukkan
kejengkelan. Namun, banyak juga kata yang sebenarnaya bernilai kasar tetapi
sengaja digunakan untuk lebih memberi tekakanan tetapi tanpa terasa
kekasarannya.
Faktor
yang memudahkan perubahan/ pergeseran makna, terdapat pada subbab (c), menurut
penulis ada tiga sebab.
1. Faktor
kebetulan. Contoh:
Makna Dahulu
|
Makna Kini
|
- rawan = muda,
lembut
misalnya: tulang
rawan
- kontestan = pemilihan
perempuan
cantik
|
- rawan = kekurangan
misalnya: rawan
perampokan,
rawan
pencurian, daerah rawan.
- kontestan = (?) calon
peserta
misalnya: kontestan pemilu
|
2. Faktor
kebutuhan baru. Contoh:
Makna
Dahulu
|
Makna
Kini
|
- berlayar =
menggunakan perahu
layar
untuk bepergian melalui
laut
|
- berlayar =
bepergian dengan
kapal
laut dan pesawat terbang
tetapi
tidak menggunakan layar
|
3. Faktor
tabu. Contoh:
Makna
Dahulu
|
Makna
Kini
|
ketika
orang sedang makan, berpantangan mengucapkan:
- kakus =
(terbayang menjijikkan)
- harimau =
binatang buas di
Hutan
|
ketika
orang sedang makan:
- kakus diganti
dengan kamar
belakang atau kamar kecil
- harimau = diganti dengan nenek
(diucapkan
takut bertemu
harimau
betulan)
|
Berbeda
menurut Ulmann (1972:192-197), bahwa faktor-faktor yang memudahkan perubahan/
pergeseran makna yaitu:
1.
Bahasa
itu berkembang, atau bahasa itu diturunkan dari generasi ke generasi. Contoh:
kata juara dulu
bermakna
orang yang memimpin penyambungan ayam, kini bermakna orang yang mendapat
peringkat dalam perlombaan.
2.
Makna
itu sendiri kabur, samar-samar maknanya. Contoh: kata alot bermakna
liat, tidak mudah putus,
(dialek Jakarta berarti keras, kenyal),
(bahasa Jawa berarti liat). Makna tidak sesuai (samar-samar) untuk kata tanah
liat. Kini bermakna lambat, pelan (misalnya Pembahasan rancangan
undang-undang itu alot).
3.
Kelihatan
motivasi (loos of motivation). Contoh: kata ajang bermakna
tempat untuk makan (misalnya
piring),
kini bermakna bukan untuk makan (misalnya ajang pertempuran).
4.
Adanya
kata-kata yang bermakna ganda (polysemy) Contoh: kata lempung bermakna
ringan/ lunak dan
mudah
patah (misalnya kayu); lemah sekali; tidak berguna sedikit pun.
5. Dalam konteks yang membinggungkan
(in ambiguous contexts). Contoh: Kucing makan tikus mati.
6. Struktur kosa kata. Maksudnya,
Dalam perkembangan kosa kata, ada kata baru dan ada pula kata yang
hanya berubah maknanya saja.
Adapun
faktor-faktor penyebab perubahan makna (Ullmann, 1972:198-210)
sebagai berikut.
1.
Faktor
kebahasaan (linguistic causes). Ini berkaitan dengan
fonologi, morfologi, dan sintaksis.
Contohnya:
dahulu kata sahaya berati budak, tetapi kini berarti saya.
Lalu, berbeda kalimat Ali memukul Adi dengan Ali
dipukul Adi.
2.
Faktor
kesejarahan (historical causes) terdiri dari: (a) faktor objek misalnya
asal katawanita dari
kata betina (untukhewan: ayambetina)kemudianmenjadikata batinalalu watina (fonem /b/→fonem /w)
dan menjadi kata wanita padanannyaperempuan. Jadi wanita tidak
bisa disepadankan dengan hewan lagi tetapi dengan objek;
(b)
faktor institusi misalnya kata rukun dahulu bermakna kerukunan
antara warga, antar tetangga-tetangga/ antar warga-warga. Kini pengertiannya
sudah meluas, untuk institusi resmi; (c) faktor ide misalnya kata simposium dahulu
bermakna untuk bergembira (minum, makan, berdansa), kini bermakna pertemuan
ilmiah; dan (d) faktor konsep ilmiah misalnya kata volt dahulu dikaitkan dengan
sang penemunya, Allessandro Voltas. Kini lebih ditekankan maknanya pada satuan
potensial listrik yang diperlukan untuk mengalirkan satu ampere arus listrik
melalui satu ohm (misal dalam kalimat Voltase aliran listrik di rumahmu
harus ditambah).
3.
Faktor
sosial (social causes). Ini dikaitkan dengan perkembangan makna kata
dalam masyarakat.
Contoh:
kata gerombolan makna dahulu orang yang berkumpul
atau kerumunan orang, kini berarti pemberontak atau pengacau.
4.
Faktor
psikologis (psychological causes) terdiri dari: (a) faktor emotif (emotif
factor) misalnya
kata bangsat dahulu
dikaitkan dengan binatang yang biasa menggigit jika kita duduk di kursi rotan
karena binatang itu hidup di sela-sela anyaman rotan, kini maknanya manusia
yang malas yang kelakuannya menyakitkan hati.; (b) kata-kata tabu dirinci lagi
(1) tabu karena takut (taboo of fear) misalnya kata menaikkan
harga(dapat menimbulkan gangguan keamanan) diganti kata menyesuaikan
harga. Lalu, kata terlibat organisasi terlarang diganti tidak
bersih diri (= berdaki) atau tidak bersih lingkungan (=
lingkungan yang kotor). Dan, kata harimau (takut diucapkan di
hutan) diganti kata nenek; (2) tabu karena menginginkan kehalusan
kata (taboo of delicacy) misalnya kata makan diganti
kata bersantap dan mencicipi, padahal berbeda
maknanya; dan (3) tabu karena ingin dikatakan sopan (taboo of propriety)
misalnya kata kencing diganti kata buang air kecil.
Kata WC, toilet, kakus diganti kata kamar kecil atau kamarbelakang.Kata “Makan!” diganti
kata “Silakan makan!” atau “Silakan bersantap!”
5.
Pengaruh
bahasa asing. Ini terjadi disebabkan oleh interaksi antara sesama bangsa, tak
dapat dihindari.
Contoh
kata dari bahasa Belanda: andil (aandeel), dokumentasi (documentatie),
insiden (incident), dan lain-lain.
6.
Karena
kebutuhan kata yang baru. Ini akibat perkembangan konsep baru namun belum ada
lambangnya
tetapi perlu nama atau kata baru karena bahasa adalah alat komunikasi.
Contoh karena bangsa Indonesia merasa kurang enak menggunakan katasaudara maka
muncullah kata Anda. Kata saudara pada mulanya
dihubungkan dengan orang yang sedarah dengan kita tapi kini kata saudara digunakan untuk
menyebut siapa saja. Dari kata bui, penjara, tutupan muncul
kata lembaga pemasyarakatan.
Agak berbeda dengan perubahan makna yang terjadi sebagai
akibat penggunaan dalam bidang yang lain, di sini makna baru yang muncul adalah
berkaitan dengan hal atau peristiwa lain yang berkenaan dengan kata tersebut.
Umpamanya kata amplop yang berasal dari bidang administrasi
atau surat- menyurat, makna asalnya adalah ‘sampul surat’.
Ke dalam amplop itu
selain biasa dimasukkan surat tetapi bisa pula dimasukkan benda lain, misalnya
uang. Oleh karena itu, dalam kalimat beri saja amplop maka urusan pasti
beres, kata amplop di situ bermakna ‘uang’ sebab amplop yang
dimaksud bukan berisi surat atau tidak berisi apa- apa melainkan berisi uang
sebagai sogokan.Asosiasi antara amplop dengan uang ini
adalah berkenaan dengan wadah. Jadi, menyebut wadahnya yaitu amplop tetapi
yang dimaksud adalah isinya, yaitu uang.
C.
Medan
makna
Medan makna adalah seperangkat unsur leksikal
yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari kebudayaan
atau realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya nama-nama warna dan
nama-nama perkerabatan.
Harimurti (1982) menyatakan bahwa
medan makna adalah bagian dari sistem semantic bahasa yang menggambarkan bagian
dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu yang
direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan.
Umpamanya nama-nama warna membentuk medan makna tertentu. Begitu juga dengan
nama perabot rumah tangga, istilah olahraga, istilah perkerabatan, pertukangan
dan sebagainya. Nama-nama istilah perkerabatan dalam bahasa Indonesia adalah
cucu, cicit, piut, bapak/ayah, ibu, kakek, nenek, moyang, buyut, paman, bibi,
saudara, kakak, adik, sepupu, kemenakan, istri, suami, ipar, mertua, menantu
dan besan. Kata-kata yang terdapat dalam medan makna dapat digolongkan menjadi
dua, yaitu yang termasuk golongan kolokasi dan golongan set.
1. Kolokasi (berasal dari bahasa latin colloco yag berarti ada
di tempat yang sama dengan)
menunjuk kepada hubu ngan sintagmatik yang terjadi antara unsur-unsur
leksikal itu.
Misalnya:
kata-kata lahar, lereng, puncak, curam dan lembah berada dalam lingkungan
mengenai pegunungan.
2. Set menuju pada hubungan sintagmatik karena kata-kata atau
unsur-unsur yang berada
dalam suatu set dapat saling
menggantikan. Misalnya :remaja merupakan tahap
pertumbuhan antara kanak-kanak dengan
dewasa.
Set
paradigmatik: bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, manula.
Contoh:
Banyak unsur leksikal dalam satu medan makna antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tidak sama besarnya, karena hal tersebut berkaitan erat dengan sistem budaya masyarakat pemilik bahasa itu.
*Bahasa Indonesia
Merah, coklat, baru. Hijau, kuning, abu-abu, putih dan hitam catatan menurut fisika putih adalah kumpulan berbagai warna sedangkan hitam adalah tak berwarna. Untuk menyatakan nuansa warna yang berbeda, Bahasa Indonesia memberi keterangan perbandingan seperti, merah darah, merah jambu, dan merah bata.
Merah, coklat, baru. Hijau, kuning, abu-abu, putih dan hitam catatan menurut fisika putih adalah kumpulan berbagai warna sedangkan hitam adalah tak berwarna. Untuk menyatakan nuansa warna yang berbeda, Bahasa Indonesia memberi keterangan perbandingan seperti, merah darah, merah jambu, dan merah bata.
*Bahasa Inggris
Ada 10 warna yaitu white, red, yellow, purple, pink, orange, grey, blue.
*Bahasa Hunanco
Ada 4 warna yaitu (ma) biru, yakni warna hitam dan warna gelap lainnya. (ma) langit yairu warna putih dan warna lainnya. (ma) rarar yakni kelompok warna merah dan (ma) latuy yakni warna kuning, jhijau muda dan coklat muda.
Kata-kata atau leksem-leksem yang megelompokkan dalam satu medan makna, berdasrkan sifat hubungan semantisnya dapat di bedakan atas kelompok medan kolokasi dan medan set kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmantik yang terdapat antara kata-kata atau unsur-unsur leksikal itu. Misalnya, dalam kalimat.
(I). Supir metro mini mengintruksikan kepada karnet agar meminta onkos kepenumpang.
Kita dapati kata-kata supir, metromini, kernet, dan penumpang yang merupakan kata-kata dalam satu lokasi, satu tempat atau lingkungan yang sama, yang berkenan dengan lingkungan darat (dalam metromoni).
Kalau kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmantik, karena sifatnya yang linear, maka kelompok set menunjuk, pada hubungan pradigmatik, karena kata-kata yang berada dalam satu kelompok set biasanya mempunyai kelas yang sama dan tampaknya merupakan satu kesatuan. Setiap kata dalam set dibatasi oleh tempatnya dalam hubungan dengan anggota-anggota lain dalam set itu umpamanya, kata remajamerupakan tahap perkembangan dari anak-anak menjadi dewasa, sedangkan kata sejuki merupakan suhu diantara dingin dan hangat.
Maka kalau kata-kata yang satu set dengan remaja dan sejuk dibagankan
adalah menjadi sebagai berikut:
Manula / lansia Terik
Dewasa Panas
Remaja Hangat
Kanak-kanak Sejuk
Bayi Dingin
Pengelompokan kata atas kolokasi dan set ini besar artinya bagi kita dapat memahami konsep-konsep budaya yang ada dalam satu masyarakat bahasa. Namun pengelompokan ini sering kurang jelas karena adanya ketumpang tindihan unsur-unsur leksikal yang di kelompokkan itu, misalnya, kata karang dapat masuk dalam kelompok medan makna pariwisata dan dapat pula masuk kedalam kelompok medan makna pariwisata dan dapat pula dalam kelompok medan makna kelautan, selain itu pengelompokan kata atas medan makna ini tidak mempedulikan adanay nuansa makan, perbedaan makna denotasi dan konotasi.
Manula / lansia Terik
Dewasa Panas
Remaja Hangat
Kanak-kanak Sejuk
Bayi Dingin
Pengelompokan kata atas kolokasi dan set ini besar artinya bagi kita dapat memahami konsep-konsep budaya yang ada dalam satu masyarakat bahasa. Namun pengelompokan ini sering kurang jelas karena adanya ketumpang tindihan unsur-unsur leksikal yang di kelompokkan itu, misalnya, kata karang dapat masuk dalam kelompok medan makna pariwisata dan dapat pula masuk kedalam kelompok medan makna pariwisata dan dapat pula dalam kelompok medan makna kelautan, selain itu pengelompokan kata atas medan makna ini tidak mempedulikan adanay nuansa makan, perbedaan makna denotasi dan konotasi.
Misalnya, kata remaja itu juga memiliki juga
makna “belum dewasa”, keras kepala, bersifat kaku, suka mengganggu dan
membantah, serta tidak konsisten, jadi pengelompokan kata atas medan makana ini
hanya tertumpu pada makna dasar, makna denotatif, atau makana pusatnya saja.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Relasi makna dapat berwujud bermacam-
macam antara lain : sinonimi, antonimi dan oposisi,homonimi,homofoni, homografi, hiponimidanhipernimi, polisemi, ambiguitas,redundansi. Sebab- sebab perubahan makna : Perkembangan dalam ilmu dan
teknologi,
Perkembangan sosial dan budaya, Perbedaan
bidang pemakaian, Adanya asosiasi,
Pertukaran tanggapan indra, Adanya
penyingkatan, Proses gramatikal, dan Pengembangan istilah. Medan makna adalah seperangkat unsur leksikal
yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari kebudayaan
atau realitas dalam alam semesta tertentu.
B. Saran
Saran penulis melalui makalah ini yaitu agar membaca senantiasa
memperbanyak membaca buku-buku mengenai semantic dan meningkatkan kecintaan
terhadap semantic agar mendapat lebih informasi mengenai semantic.
DAFTAR
PUSTAKA
Alieve, N.F. et.
al(1991). Bahasa Indonesia: Deskripsi
dan Teori. Yogyakarta: Kanisius.
Verhaar, J.W.M. (1996).
Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Chear, Abdul. (1994).
Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. (1995). Pengantar
Semantik Bahasa Indonesia. Bandung : Rineka Cipta
Pateda, Mansoer. (2010). Semantik.
Leksikal. Bandung : Rineka Cipta
iii