Picture

Picture
Picturku

Minggu, 26 April 2015

RELASI MAKNA, PERUBAHAN MAKNA, DAN MEDAN MAKNA



Makalah

SEMANTIK BAHASA INDONESIA
RELASI MAKNA, PERUBAHAN MAKNA, DAN MEDAN MAKNA





 


DISUSUN OLEH :
KELOMPOK VI

Devi Rahayu Nurul Kurniawan          :           213010045
Rahima                                                :           213010026
Musnia                                                :           213010029


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BUTON
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
BAUBAU
2015

KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Allahamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang ALLAH SWT berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk ALLAH SWT, Tuhan seluruh alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tidak terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “RELASI MAKNA, PERUBAHAN MAKNA, DAN MEDAN MAKNA”. Dalam penyusunannya, Penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak,karenaitu penulis mengucapkan terimakasikasih kepada Bapak Asrul Nazal, S.Pd., M.Hum. Yang telah memberikan dukungan dankepercayaan. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, Insaallah semua ini bias memberikan sedikit kebahagian dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi. Meskipun penulis berharap isi makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

                                                                                                Baubau, 11 April 2015

                                                                                                Penyusun







i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………….……………………….1
A. Latar Belakang…………………………………………….………………………….......1
B. Rumusan Masalah………………………………………….……………………………..2
C. Tujuan Makalah………………………………………….……………………………….2

BAB II PEMBAHASAN……………………………….…………………………………..3
A. Relasi Makna……………………………....……….……………….................………....3
B. Perubahan Makna…………………………………..……..……………………………...12
C. Medan Makna……………………………………..……………………………………...22

BAB III PENUTUP…………………………………….…………………………………..25
A. Kesimpulan………………………………………….………………………………...…25
B. Saran…………………………………………….…………………………………...…..25

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………..……………………..iii






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

            Dalam suatu bahasa, makna kata saling berhubungan, hubungan ini disebut relaksi makna. Relasi makna dapat berwujud bermacam-macam. Dalam setiap bahasa termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temukan adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainya dengan kata satuan bahasa lainnya. Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonimi) kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi), dan sebagainya.

Perkembangan dalam bidang ilmu dan kemajuan dalam bidang teknologi dapat menyebabkan terjadinya perubahan makna sebuah kata. Di sini sebuah kata yang tadinya mengandung konsep makna mengenai sesuatu yang sederhana, tetap digunakan walaupun konsep makna yang dikandung telah berubah sebagai akibat dari pandangan baru. Makna sebagai unsur bahasa merupakan salah satu unsur yang memiliki potensi untuk berubah karena makna berkaitan dengan konsep-konsep dan pikiran manusia yang tidak pernah berhenti. Perubahan makna terjadi dipengaruhi oleh beberapa sebab serta terdapat berbagai jenis perubahan makna diantaranya yaitu,meluas menyempit,perubahan total,membaik, memburuk.  Adapun pandangan saya tentang perubahan makna pada laporan bacaan ini adalah sebagai berikut.

Medan makna adalah bagian dari sistem semantic bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Dalam beberapa hal medan makna dapat diasosiasikan dengan kelas gramatikal yang dan dapat dilambangkan dalam bentuk bentuk kelas gramatikal yang berbeda.

B.     Rumusan Masaalah

1.      Apa yang mempengaruhi relasi makna?
2.      Bagaimana proses terjadinya perubahan makna?
3.      Apa-apa saja yang terdapat dalam medan makna?
      C. Tujuan Makalah
            1. Mengetahui dan memahami relasi makna
            2. Mengetahui penyebab dan proses terjadinya perubahan makna
            3. Mengetahui apa yang terdapat dalam medan makna













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Relasi Makna
Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, makna kata saling berhubungan, hubungan kata itu disebut relasi makna. Relasi makna dapat berwujud bermacam- macam antara lain : sinonimi, antonimi dan oposisi, homonimi, homofoni, homografi, hiponimi dan hipernimi, polisemi, ambiguitas, redundansi.

1.      Sinonimi
Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti ‘nana’, dan syn yang berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. secara samantik Verhaar (1978) mendefenisikan sinonimi sebagai ungkapan (bias berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.

Contoh :
Buruk              =  jelek                                                Hancur             =  musnah
Laris                =  laku                                                 Pintar               =  pandai
Dahaga            =  haus                                                            Hadiah             =  pemberian
Datang             =  tiba                                                 Usang              =  lama                       
Pulang             =  kembali = balik                               Mati                 =  meninggal
Masyarakat      =  rakyat = warga                               Tampan           =  ganteng
Pria                  =  laki- laki                                          Hanjur             =  musnah
Enak                =  lezat






Dari contoh diatas dapat dilihat kata – kata bersinonim, dan tidak semua sinonim bisa dipertukarkan begitu saja.
Contoh kalimat :
Anjing meninggal ditabrak mobil
Kata meninggal pada kalimat di atas tidak tepat, karena kata meninggal lebih tepat ditujukan kepada manusia, atau kata meninggal diganti dengan kata mati. Yang lebih tepatnya anjing mati ditabrak mobil. Jadi kata sinonim bisa digunakan sesuai dengan kepada siapa yang ditujukan pembicaraan tersebut. Misalnya kata aku dan saya kedua kata tersebut bersinonim, tapi kata aku lebih tepat dipakai untuk teman sebaya, dan kata saya lebih tepat digunakan untuk orang yang lebih tua dari kita. Jadi, kata sinonim digunakan sesuai dengan waktu, tempat,bidang kegiatan,dan lain – lain.

Makna dua buah kata yang bersinonim tidak pernah mempunyai makna yang sama persis, mutlak atau simetris. Kesinoniman mutlak atau kesinoniman simetris tidak ada dalam perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia. Hal itu disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
a. Waktu
Misalnya kata hulubalang dan komandan
 merupakan dua buah kata yang bersinonim tetapi karena faktor waktu, maka kedua kata tersebut tidak bisa dipertukarkan.Hulubalang hanya cocok untuk situasi kuno, sedangkan komandan cocok untuk situasi masa kini.

b. Tempat atau daerah
Misalnya kata saya dan beta merupakan dua kata yang bersinonim , tetapi kedua kata tersebut tidak dapat dipertukarkan. Beta hanya cocok digunakan dalam konteks pemakaian bahasa Indonesia timur (Maluku).





c. Sosial
Misalnya aku dan saya adalah dua buah kata yang bersinonim, teapi kata aku hanya dapat digunakan untuk teman sebaya dan tidak digunakan kepada orang yang lebih tua atau status sosialnya lebih tinggi.

d. Bidang Kegiatan
Misalnya kata tasawuf, kebatinan, dan mistik adalah tiga buah kata yang bersionim. Namun kata tasawuf hanya lazim dalam agama islam, kebatinan untuk yang bukan islam dan mistik untuk semua agama.
e. Nuansa Makna
Misalnya kata-kata melihat, melirik, melotot, meninjau, atau mengintip adalah kata-kata yang bersinonim. Kata melihat bisa digunakan secara umum, tetapi kata melirik hanya digunakan untuk menyatakan melihat dengan sudut mata, melolot hanya digunakan dengan mata terbuka lebar, meninjau hanya digunakan hanya dugunakan hanya dugunakan untuk menyatakan melihat dari tempat yang jauh.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam sinonim bahasa Indonesia.

1)      tidak semua kata dalam bahasa Indonesia memiliki sinonim. Misalnya kata salju, batu, kuning
     , beras, tidak mempunyai sinonim.
2)      kata-kata  bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian. Mislanya
katabenar dan betul, tetapi kata kebenaran dan kebetulan tidak bersinonim.
3)      kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar tetapi memiliki sinonim pada bentuk
jadian. Misalnya kata jemur tidak mempunyai sinonim tetapi kata menjemur ada sinonimnya, yaitu mengeringkan, dan berjemur besinonim dengan berpanas.
4)      ada kata-kata yang yang dalam arti sebenarnya tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam arti kiasan
 justru mempunyai sinonim, misalnya kata hitam dalam arti sebenarnya tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam arti kiasan hitam bersnonim dengan gelap, buruk, jahat dsb.
2. Antonimi dan oposisi
Verhaar (1978) mendefinisikan antonimi adalah ungkapan (bisa berupa kata, tetapi dapat juga berbentuk frase, atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Antonimi sering disebut dengan lawan kata, maksudnya maknanya kebalikan dari makna ungkapan lain.

Contoh :
Jujur    = bohong                     Mahal  = murah
Tipis    = tebal                          Kaya   = miskin
Rajin    = malas                        Pintar  = bodoh
Surga   =  neraka                     Gila     = waras
           
Berdasarkan sifatnya, oposisi dapat dibedakan menjadi :

a.        Oposisi Mutlak
Disini terdapat pertentangan makna secara mutlak. Umpamanya kata masuk dan keluar. Diantara masuk dan keluar terdapat makna yang mutlak, sebab sesuatu yang masuk tentu tidak ( belum ) keluar ; sedangkan sesuatu yang keluar tentu sudah masuk. Misalnya naik dan turun. Diantara naik dan turun terdapat makna yang mutlak, sebab sesuatu yang naik tentu tidak (belum) turun; sedangkan sesuatu yang turun tentu sudah naik.kedua proses ini tidak dapat berlangsung bersamaan, tetapi secara bergantian.

b.      Oposisi Kutub
Makna kata yang termasuk oposisi kutub ini pertentangan tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat gradisi, artinya terdapat tingkat – tingkat makna pada kata tersebut. Misalnya kata kaya dan miskin adalah dua buah kata yang beroposisi kutub. Pertentangan antara kaya dan miskin tidak mutlak. Orang yang tidak kaya belum tentu merasa miskin, dan begitu juga orang yang tidak miskin belum tentu merasa


Kaya. Bila orang yang biasa berpendapatan satu bulan enam juta , lalu tiba – tiba menjadi satu juta rupiah, sudah merasa dirinya miskin, sebaliknya orang seseorang yang setiap bulan hanya berpenghasilan Rp 100.000 ,lalu tiba- tiba berpenghasilan Rp 500.000 sudah merasa dirinya kaya.
c.       Oposisi Hubungan
      Oposisi hubungan ini sifatnya saling melengkapi. Artinya kehadiran kata yang satu karena ada kata yang lain yang menjadi oposisinya.Misalnya berlajar dan mengajar walaupun maknanya berlawanan tapi kejadiannya serempak. Proses belajar dan mengajar terjadi pada waktu yang bersamaan sehingga bisa dikatakan tadakkan ada proses mengajar jika tak ada proses belajar. Contoh memberi dan menerima walaupun maknanya berlawanan tapi kejadiannya serempak. Proses memberi dan menerima terjadi pada waktu bersamaan sehingga bisa dikatakan tidakkan ada proses memberi jika tidak ada yang menerima. Contoh lainnya kata menjual beroposisi dengan membelisuami degan istri.Kata-kata yang beropsosisi hubungan ini bisa berupa kata-kata kerja seperti maju-mundur,pulang-pergipasang-surut, atau berupa kata benda misalnya ayah-ibu, guru-murid

d.      Oposisi Hierarkial
Makna kata kata yang beroposisi hierakrial ini menyatakan suatu deret jenjang atau tindakan. Oleh karena itu kata-kata yang beroposisi hierarkial ini adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang dan isi), nama satuan hitungan dan penanggalan, nama jenjang kepangkatan dan sebagainya.
Misalnya meter beroposisi dengan  kilometer  karena beraada dalam satuan yang menyakatan panjang. Kuintal  beroposisi dengan ton karena keduanya berada dalam satuan ukuran yang menyatakan berat.

   e.  Oposisi  majemuk
     Oposisi majemuk ini beroposisi lebih dari sebuah kata. Mislanya kata berdiri bisa beroposisi dengan kata duduk, berbaring,berjongkok dsb.  Misalnya kata diam beroposisi dengan berbicara, bergerak, dan bekerja. Kata – kata diatas lazim disebut oposisi majemuk.



3.      Homonimi, Homofoni, Homografi

a.   Homonimi
Verhaar (1978) mendefiniskan  homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain tetapi maknanya tidak sama.
Misalnya bisa yang bermakna racun ular dan bisa yang bermakna sanggup.
Ada dua sebab kemungkinan terjadinya homonimi yaitu:
1.                Bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya bisa yang berati racun berasal dari bahasa Melayu, sedangkan bisa yang berarti sanggup berasal dari bahasa Jawa.
2.                Bentuk-bentuk yang berhomonimi itu terjadi sebagai hasil proses morfologis.
Mislanya mengukur dalam kalimat. Ibu mengukur kelapa di dapur, adalah berhomonim pada kalimat
ayah mengukur luasnya  halaman rumah kami.

Homonimi juga terjadi pada tataran morfem, kata, frase, dan kalimat
a)                Homonimi antarmorfem, tentunya antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat lainnya
Mislanya morfem –nya pada kalimat, ini buku saya, itu bukumu dan yang disana bukunya berhomonim dengan –nya pada kalimat mau belajar tapi bukunya tidak ada.
b)                Homonimi antarkata misalnya bisa yang bermakna sanggup dan bisa yang bermakna racun
ular. Semi yang bermakna tunas dan semi yang bermakna setengah.
c)                Hominimi antarfrase, misalnya antara frase cinta anak yang bermakan cita seorang anak kepada orangtuanya dengan cinta anak yang bermakna cinta orang tua kepada anaknya. lukisan saya yang bermakna lukisan karya saya, lukisan milik saya atau lukisan wajah saya.
d)               Homonimi antarkalimat misalnya istri lurah yang baru itu cantik  yang bermakna lurah yang baru
dilantik itu mempunyai istri yang cantik, dengan lurah itu baru saja menikah dengan seorang wanita
cantik.
b.   Homofoni
Homofoni berasal dari dua kata yaitu kata homo yang bermakna sama dan fonyang bermakna bunyi, jadi homofoni adalah kata-kata yang mempunnyai bentuk yang berbeda, maknanya berbeda tetapi mempunyai bunyi yang sama. Misalnya kata bangdengan bankBank adalah lembaga yang mengurus lalu lintas uang, sedangkan bangberasal dari abang yang bermakna kakak laki-laki. Sangsi dengan sanksi, sangsi yang bermakna ragu dengan sanksi yang bermakna akibat atau konsekuensi.

c.   Homografi
Homografi secara etimologi beras dari kata homo yang bermakna sama dengangraf yang bermakna tulisan, jadi homografi adalah kata-kata mempunyai tulisan yang sama tetapi bunyi dan maknanya berbeda. Misalnya teras dengan terasteras yang pertama dilafalkan teras bermakna  inti kayu dan teras yang kedua dilafalkan teras yang bermakna bagian dari rumah. Apel dengan apelapel yang pertama dilafalkan apÄ›l yang bermakna upacara dan apel yang dilafalkan apel yang bermakna buah apel.

4. Hiponimi dan Hipernimi
Kata hiponimi barasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’ dan hypo berarti’di bawah’. Jadi secara harfiah berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain. Secara semantik Verhaar (1978:137) menyatakan hiponim ialah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase atau kalimat) yang maknanya dianggapmerupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain.

Hipernimi adalah kata-kata yang mewakili banyak kata lain. Kata hipernimi dapat menjadi kata umum dari penyebutan kata-kata lainnya. Konsep hipernimi adalah kebalikan dari konsep hiponimi. Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata  yang berada di bawah makna kata lainnya. Oleh karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernim dari sebuah kata merupakan hipernim dari kata lainnya, akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang hierarkial di atasnya.

Contoh:
        Hipernimi: Ikan
 Hiponimi: Lumba-lumba, tenggiri, hiu, mujaer, sepat, mas, nila dan sebagainya.
        Hipernimi: Bunga
        Hiponimi: mawar, melati, anggrek, lili, dan sebagainnya.

5. Polisemi
    Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, frase, ) yang memiliki makna lebih dari satu.
Misalnya kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna
-Bagian tubuh dari leher ke atas (seperti terdapat pada manusia dan hewan)
-Bagian dari sesuatu yang terletak di bagian atas atau depan yang merupakan bagian yang
 penting (kepala Ketera api, kepala meja).
-Bagian dari sesuatu yang berbentuk bulat (kepala paku, kepla jarum)
-Pemimpin atau ketua (kepala sekolah, kepala kantor)
-Jiwa orang seperti dalam kalimat “setiap kepala menerima bantuan RP. 5000.000”
-Akal budi seperti dalam kalimat “ badanya besar tetapi kepalanya kosong”.
Konsep polisemi hampir sama dengan konsep homonimi. Perbedaanya adalah homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata atau lebih yang kebetulan maknanya sama. Tentu saja homonimi itu bukan sebuah kata maka maknanya pun berbeda. Makna  kata pada homonimi tidak ada kaitannya atau hubungannya sama sekali antara yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan  polisemi adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu, makna kata pada polisemi masih ada hubungannya antara makna yang satu dengan yang lain karen memang kembangkan dari komponen-komponen makna kata-kata tersebut.




6. Ambiguitas
          Ambiguitas adalah ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Pengertian ambiguitas hampir sama dengan pengertain polisemi. Perbedaanya terletak pada kegandaan makna dalam polisemi dari kata, sedangkan kegandaan makna pada ambiguitas berasal dari satuan yang lebih besar yaitu frase atau kalimat dan terjadi akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda.

          Misalnya buku sejarah baru dapat ditasfirkan sebagai (1)  buku sejarah itu baru terbit, (2) buku itu berisi sejarah zaman baruContoh lain orang malas lewat sanadapat ditafsirkan sebagai (1) jarang ada orang yang mau lewat si sini, atau (2) yang mau lewat di sini hanya orang-orang malas.

Pengertian ambiguitas hampir sama dengan homonimi. Perbedaanya terletak pada apabila homonimi dilihat sebagai bentuk yang kebetulan sama dan dengan makna yang berbeda, sedangkan ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya penafsiran struktur gramatikal bentuk tersebut. Ambiguitas hanya terjadi pada tataran frase dann kalimat sedangkan homonimi dapat terjadi pada semua satuan gramatikal.

7. Redundansi
     Redudansi artinya sebagai berlebih- lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Umpamanya ibu membuat kue, maknanya tidak akan berubah bila dikatakan kue dibuat oleh ibu. Pemakaian kata oleh pada kalimat yang kedua dianggap sebagai sesuatu yang redundansi, yang sebenarnya tidak perlu. Contoh lain ; petani mencangkul kebunnya, maknanya tidak akan berubah bila dikatakan  petani sedang mencangkul kebunnya. Pemakaian kata sedang pada kalimat yang kedua dianggap sebagai sesuatu yang redundansi, yang sebenarnya tidak perlu. Makna adalah sesuatu yang fononema dalam ujaran , sedangkan informasi adalah sesuatu yang diluar ujaran. Jadi yang sama antara kalimat pertama dan kalimat kedua di atas bukan maknanya melainkan informasi.



B.     Perubahan makna

1.      Sebab- Sebab Perubahan

a.       Perkembangan dalam Ilmu dan Teknologi
            Perkembangan dalam bidang ilmu dan kemajuan dalam bidang teknologi dapat menyebabkan terjadinya perubahan makna sebuah kata. Di sini sebuah kata yang tadinya mengandung konsep makna mengenai sesuatu yang sederhana, tetap digunakan walaupun konsep makna yang dikandung telah berubah sebagai akibat dari pandangan baru, atau teori baru dalam satu bidang ilmu atau sebagai akibat dalam perkembangan teknologi. Perubahan makna kata sastra dan makna ‘tulisan’ sampai pada makna ‘karya imaginatif’ adalah salah satu contoh perkembangan bidang keilmuan. Pandangan-pandangan baru atau teori baru mengenai sastra menyebabkan makna kata sastra itu berubah. Pandangan baru atau teori barulah yang menyebabkan kata sastra yang tadinya bermakna buku yang baik isinya dan baik bahasanya ‘menjadi berarti’ karya yang bersifat imaginatif kreatif.

b.      Perkembangan Sosial dan Budaya
            Perkembangan dalam bidang sosial kemasyarakatan dapat menyebabkan terjadinya perubahan makna. Di sini sama dengan yang terjadi sebagai akibat perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi, sebuah kata yang pada mulanya bermakna ‘A’, lalu berubah menjadi bermakna ‘B’ atau ‘C’ jadi, bentuk katanya tetap sama tetapi konsep makna yang dikandungnya sudah berubah. Misalnya kata saudara dalam bahasa Sansakerta bermakna ‘seperut’ atau ‘satu kandungan’. Kini kata saudara, walaupun masih juga digunakan dalam arti ‘orang yang lahir dari kandungan yang sama’ seperti dalam kalimat Saya mempunyai seorang saudara di sana, tetapi digunakan juga untuk menyebut atau menyapa siapa saja yang dianggap sederajat atau berstatus sosial yang sama. Misalnya dalam kalimat Surat Saudara sudah saya terima, atau kalimat Dimana Saudara dilahirkan ?.




c.       Perbedaan Bidang Pemakaian
           Dalam bagian yang lalu sudah dibicarakan bahwa setiap bidang kehidupan atau kegiatan memiliki kosakata tersendiri yang hanya dikenal dan digunakan dengan makna tertentu dalam bidang tersebut. Umpamanya dalam bidang pertanian ada kata- kata benih, menuai, panen menggarap, membajak, menabur, menanam, pupuk, dan hama. Dalam bidang pendidikan formal di sekolah ada kata- kata murid, guru, ujian, menyalin, menyontek, membaca, dan menghapal.

           Kata- kata yangt menjadi kosakata dalam bidang-bidang tertentu itu dalam kehidupan dan pemakaian sehari- hari dapat terbantu dari bidangnya dan digunakan dalam bidang lain atau menjadi kosakata umum. Oleh karena itu, kata-kata tersebut menjadi memiliki makna baru atau makna lain di samping makna aslinya (makna yang berlaku dalam bidangnya). Misalnya kata menggarap yang berasal dari bidang pertanian dengan segala macam derivasinya, seperti tampak dalam frase menggarap sawah, tanah garapan, dan petani penggarap, kini banyak juga digunakan dalam bidang- bidang lain dengan makna ‘mengerjakan’ seperti tampak digunakan dalam frase menggarap skripsi, menggarap usul para anggota, menggarap generasi muda, dan menggarap naskah drama.

d.       Adanya Asosiasi
            Kata- kata yang digunakan di luar bidangnya, seperti dibicarakan di atas masih ada hubungan atau pertautan maknanya dengan makna yang digunakan dalam bidang asalnya. Umpamanya kata mencatut yang berasal dari bidang atau lingkungan perbengkelan dan pertukangan mempunyai makna bekerja dengan menggunakan catut. Dengan menggunakan catut ini maka pekerjaan yang dilakukan, misalnya mencabut paku, menjadi dapat dilakukan dengan mudah. Oleh karena itu, kalau digunakan dalam frase seperti mencatut karcis akan memiliki makna ‘memperoleh keuntungan dengan mudah melalui jual beli karcis’.

           Agak berbeda dengan perubahan makna yang terjadi sebagai akibat penggunaan dalam bidang yang lain, di sini makna baru yang muncul adalah berkaitan dengan hal atau peristiwa lain yang berkenaan dengan kata tersebut.

 Umpamanya kata amplop yang berasal dari bidang administrasi atau surat- menyurat, makna asalnya adalah ‘sampul surat’. Ke dalam amplop itu selain biasa dimasukkan surat tetapi bisa pula dimasukkan benda lain, misalnya uang. Oleh karena itu, dalam kalimat beri saja amplop maka urusan pasti beres, kata amplop di situ bermakna ‘uang’ sebab amplop yang dimaksud bukan berisi surat atau tidak berisi apa- apa melainkan berisi uang sebagai sogokan.

           Asosiasi antara amplop dengan uang ini adalah berkenaan dengan wadah. Jadi, menyebut wadahnya yaitu amplop tetapi yang dimaksud adalah isinya, yaitu uang.

e.       Pertukaran Tanggapan Indra.
           Alat indra kita yang lima sebenarnya sudah mempunyai tugas-tugas tertentu untuk menangkap gejala-gejala yang terjadi di dunia ini. Umpamanya rasa pahit, getir, dan manis harus ditanggap oleh alat perasa lidah. Rasa panas, dingin, dan sejuk harus ditanggap oleh alat perasa pada kulit. Gejala yang berkenaan dengan cahaya seperti terang, gelap, dan remang- remang harus ditanggap dengan alat indra mata; sedangkan yang berkenaan dengan bau harus ditanggap dengan alat indra penciuman, yaitu hidung.

           Namun, dalam penggunaan bahasa banyak terjadi kasus pertukaran tanggapan antara indra yang satu dengan indra lain. Rasa pedas, misalnya, yang seharusnya ditanggap oleh alat indra perasa pada lidah, tertukar menjadi ditanggap oleh alat indra pendengaran seperti tampak dalam ujaran kata-katanya cukup pedas. Keadaan ini, pertukaran alat indra penanggap, biasa disebut dengaistilah sinestesia.Istilahiniberasaldaribahasayunanisun artinya ‘sama’ dan aisthetikas  artinya ‘tampak’.






a.       Perbedaan Tanggapan
            Setiap unsur leksikal atau kata sebenarnya secara sinkronis telah mempunyai makna leksikal yang teteap. Namun, karena panadangan hidup dan ukuran dalam norma kehidupan di dalam masyarakat maka banyak kata yang menjadi memiliki nilai rasa yang rendah (peyoratif), kurang menyenangkan. Disamping itu ada juga yang menjadi memiliki nilai rasa yang tinggi (amelioratif), atau yang mengenakkan.

b.       Adanya Penyingkatan
            Dalam bahasa Indonessia ada bsejumlah kata atau ungkapan yang karena sering digunakan maka kemudian tanpa diucapkan atau dituliskan sevara keseluruhan orang sudah mengerti maksudnya. Oleh karena itu maka kemudian orang lebih banyak menggunakan singkatannya saja daripada menggunakan bentuk utuhnya. Misalnya kalau dikatakan Ayahnya meninggal tentu maksudnya adalah meninggal dunia. Jadi, meninggal adalah bentuk singkata dari ungkapan meninggal dunia.

            Kalau disimak sebetulnya dalam khusus penyingkatan bukanlah peristiwa perubahan makna yang terjadi sebab makna atau konsep itu tetap. Yang terjadi adalah perubahan bentuk kata. Kata yang semula berbentuk utuh (panjang) disingkat menjadi bentuk tidak utuh yang pendek. Gejala penyingkatan ini bisa terjadi pula pada bentuk-bentuk yang sudah dipendek  kan seperti AMD adalah singkatan dari Abri Masuk Desa; dan Abri itu sendiri adalah kependekkan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
            Begitu banyaknya kependekkan ini sehingga banyak orang yang tidak tahu lagi bagaimana bentuk utuhnya, seperti radar, nilon, tilang.








c.       Proses Gramatikal
            Proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi (pengubahan kata) akan menyebabkan pula terjadinya perubahan makna. Tetapi dalam hal ini yang terjadi sebenarnya bukan perubahan makna, sebab bentuk kata itu sudah berubah sebagai hasil proses gramatikal. Jadi, tidaklah dapat dikatakan kalau dalam hal ini telah terjadi perubahan makna sebab yang terejadi adalah proses gramatikal dan proses gramatikal itu telah “melahirkan” makna-makna gramatikal.

d.      Pengembangan Istilah
            Salah satu upaya dalam pengemabangan atau pembentukan istilah baru adalah dengan memanfaatkan kosa kata bahasa Indonesia yang ada dengan jalan memberi makna baru, entah dengan menyempitkan makna tersebut, meluaskan, maupun memberi arti baru sama sekali.

2. Jenis Perubahan
a. Meluas
            Yang dimaksud dengan perubahan makna meluas adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah ‘makna’, tapi kemudiankarena berbagai fgaktor menjadi memiliki makna-makna lain.


b. Menyempit
            Yang dimaksud dengan perubahan menyempit adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah makna saja. Misalnya, kata sarjana yang pada mulanya berarti ‘orang pandai’ atau ‘cendikiawan’, kemudian hanya berarti oarang yang lulus dari perguruan tinggi.






c. Perubahan Total
            Yang dimaksud dengan perubahan total adalah berubahnya sama sekali makna sebuah kata dan makna asalnya. Memang ada kemungkinan makna yang dimiliki sekarang masih ada sangkut pautnya dengan makna asal, tetapi sangkut pautnya nampaknya sudah jauh sekali. Misalnya, kata ceramah pada mulanya berarti ‘cerewet’ atau ‘banyak cakap’ tetapi ini berarti ‘pidato atau uraian’ mengenai sesuatu hal yang disampaikan di depan orang banyak.

d. Penghalusan (Eufemia)
            Dalam pembicaraan mengenai penghalusan ini kita berhadapan dengan gejala ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna kata yang lebih halus atau lebih sopan daripada yang akan digantikan kecenderungan utuk menghaluskan makna kata tanpaknya merupakan gejala umum dalam masyarakat bahasa Indonesia.
            Gejala penghalusan makna ini bukan barang baru dalam masyarakat Indonesia. Orang-orang dulu yang karena kepercayaan atau sebab-sebab lainnya akan mengganti katabuaya atau harimau dengan kata nenek; mengganti kat ular dengan kata akar atau oyod.

e. Pengasaran
            Yang disebut dengan perubahan pengasaran adalah usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang maknanya kasar. Usaha atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan orang dalam situasi yang tidak ramah atau untuk menunjukkan kejengkelan. Namun, banyak juga kata yang sebenarnaya bernilai kasar tetapi sengaja digunakan untuk lebih memberi tekakanan tetapi tanpa terasa kekasarannya.    


Faktor yang memudahkan perubahan/ pergeseran makna, terdapat pada subbab (c), menurut penulis ada tiga sebab.





1.      Faktor kebetulan.   Contoh:
Makna Dahulu
Makna Kini
-   rawan = muda, lembut      
     misalnya: tulang rawan

-   kontestan = pemilihan
                        perempuan cantik
-   rawan = kekurangan
    misalnya: rawan perampokan,
    rawan pencurian, daerah rawan.
-   kontestan = (?) calon peserta
    misalnya: kontestan pemilu



2.      Faktor kebutuhan baru. Contoh:
Makna Dahulu
Makna Kini
-   berlayar = menggunakan perahu
     layar untuk bepergian melalui
     laut
-   berlayar = bepergian dengan  
     kapal laut dan pesawat terbang
     tetapi tidak menggunakan layar

3.      Faktor tabu. Contoh:
Makna Dahulu
Makna Kini
ketika orang sedang makan, berpantangan mengucapkan:
-   kakus = (terbayang menjijikkan)
-   harimau = binatang buas di
    Hutan
ketika orang sedang makan:
-   kakus diganti dengan kamar
     belakang atau kamar kecil
-   harimau =  diganti dengan nenek
    (diucapkan takut bertemu
      harimau betulan)


            Berbeda menurut Ulmann (1972:192-197), bahwa faktor-faktor yang memudahkan perubahan/ pergeseran makna yaitu:
1.            Bahasa itu berkembang, atau bahasa itu diturunkan dari generasi ke generasi. Contoh: kata juara dulu
bermakna orang yang memimpin penyambungan ayam, kini bermakna orang yang mendapat peringkat dalam perlombaan.

2.            Makna itu sendiri kabur, samar-samar maknanya. Contoh: kata alot bermakna liat, tidak mudah putus,
 (dialek Jakarta berarti keras, kenyal), (bahasa Jawa berarti liat). Makna tidak sesuai (samar-samar) untuk kata tanah liat. Kini bermakna lambat, pelan (misalnya Pembahasan rancangan undang-undang itu alot).
3.            Kelihatan motivasi (loos of motivation). Contoh:  kata ajang bermakna tempat untuk makan (misalnya
piring), kini bermakna bukan untuk makan (misalnya ajang pertempuran).
4.            Adanya kata-kata yang bermakna ganda (polysemy) Contoh: kata lempung bermakna ringan/ lunak dan
mudah patah (misalnya kayu);  lemah sekali; tidak berguna sedikit pun.
      5.      Dalam konteks yang membinggungkan (in ambiguous contexts). Contoh: Kucing makan tikus mati.
      6.      Struktur kosa kata. Maksudnya, Dalam perkembangan kosa kata, ada kata baru dan ada pula kata yang
   hanya berubah maknanya saja.

            Adapun faktor-faktor penyebab  perubahan makna (Ullmann, 1972:198-210) sebagai berikut.
1.            Faktor kebahasaan  (linguistic causes). Ini berkaitan dengan fonologi, morfologi, dan sintaksis.
Contohnya: dahulu kata sahaya berati budak, tetapi kini berarti saya. Lalu, berbeda kalimat Ali memukul Adi dengan Ali dipukul Adi.
2.            Faktor kesejarahan (historical causes) terdiri dari: (a) faktor objek misalnya asal katawanita dari
kata betina (untukhewan: ayambetina)kemudianmenjadikata batinalalu watina (fonem /b/→fonem /w) dan menjadi kata wanita padanannyaperempuan. Jadi wanita tidak bisa disepadankan dengan hewan lagi tetapi dengan objek;


(b) faktor institusi misalnya kata rukun dahulu bermakna kerukunan antara warga, antar tetangga-tetangga/ antar warga-warga. Kini pengertiannya sudah meluas, untuk institusi resmi; (c) faktor ide misalnya kata simposium dahulu bermakna untuk bergembira (minum, makan, berdansa), kini bermakna pertemuan ilmiah; dan (d) faktor konsep ilmiah misalnya kata volt dahulu dikaitkan dengan sang penemunya, Allessandro Voltas. Kini lebih ditekankan maknanya pada satuan potensial listrik yang diperlukan untuk mengalirkan satu ampere arus listrik melalui satu ohm (misal dalam kalimat Voltase aliran listrik di rumahmu harus ditambah).
3.            Faktor sosial (social causes). Ini dikaitkan dengan perkembangan makna kata dalam masyarakat.
Contoh: kata gerombolan makna dahulu  orang yang berkumpul atau kerumunan orang, kini berarti pemberontak atau pengacau.

4.            Faktor psikologis (psychological causes) terdiri dari: (a) faktor emotif (emotif factor) misalnya
kata bangsat dahulu dikaitkan dengan binatang yang biasa menggigit jika kita duduk di kursi rotan karena binatang itu hidup di sela-sela anyaman rotan, kini maknanya manusia yang malas yang kelakuannya menyakitkan hati.; (b) kata-kata tabu dirinci lagi (1) tabu karena takut (taboo of fear) misalnya kata menaikkan harga(dapat menimbulkan gangguan keamanan) diganti kata menyesuaikan harga. Lalu, kata terlibat organisasi terlarang diganti tidak bersih diri (= berdaki) atau tidak bersih lingkungan (= lingkungan yang kotor). Dan, kata harimau (takut diucapkan di hutan) diganti kata nenek; (2) tabu karena menginginkan kehalusan kata (taboo of delicacy) misalnya kata makan diganti kata bersantap dan mencicipi, padahal berbeda maknanya; dan (3) tabu karena ingin dikatakan sopan (taboo of propriety) misalnya kata kencing diganti kata buang air kecil. Kata WC, toilet, kakus diganti kata kamar kecil atau kamarbelakang.Kata “Makan!” diganti kata “Silakan makan!” atau “Silakan bersantap!”


5.            Pengaruh bahasa asing. Ini terjadi disebabkan oleh interaksi antara sesama bangsa, tak dapat dihindari.
Contoh kata dari bahasa Belanda: andil (aandeel), dokumentasi (documentatie), insiden (incident), dan lain-lain.
6.            Karena kebutuhan kata yang baru. Ini akibat perkembangan konsep baru namun belum ada
lambangnya tetapi perlu nama atau kata baru karena bahasa adalah alat komunikasi. Contoh karena bangsa Indonesia merasa kurang enak menggunakan katasaudara maka muncullah kata Anda. Kata saudara pada mulanya dihubungkan dengan orang yang sedarah dengan kita tapi kini kata saudara digunakan untuk menyebut siapa saja. Dari kata bui, penjara, tutupan muncul kata lembaga pemasyarakatan.

Agak berbeda dengan perubahan makna yang terjadi sebagai akibat penggunaan dalam bidang yang lain, di sini makna baru yang muncul adalah berkaitan dengan hal atau peristiwa lain yang berkenaan dengan kata tersebut. Umpamanya kata amplop yang berasal dari bidang administrasi atau surat- menyurat, makna asalnya adalah ‘sampul surat’.

 Ke dalam amplop itu selain biasa dimasukkan surat tetapi bisa pula dimasukkan benda lain, misalnya uang. Oleh karena itu, dalam kalimat beri saja amplop maka urusan pasti beres, kata amplop di situ bermakna ‘uang’ sebab amplop yang dimaksud bukan berisi surat atau tidak berisi apa- apa melainkan berisi uang sebagai sogokan.Asosiasi antara amplop dengan uang ini adalah berkenaan dengan wadah. Jadi, menyebut wadahnya yaitu amplop tetapi yang dimaksud adalah isinya, yaitu uang.








C.    Medan makna
Medan makna adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya nama-nama warna dan nama-nama perkerabatan.
Harimurti (1982) menyatakan bahwa medan makna adalah bagian dari sistem semantic bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Umpamanya nama-nama warna membentuk medan makna tertentu. Begitu juga dengan nama perabot rumah tangga, istilah olahraga, istilah perkerabatan, pertukangan dan sebagainya. Nama-nama istilah perkerabatan dalam bahasa Indonesia adalah cucu, cicit, piut, bapak/ayah, ibu, kakek, nenek, moyang, buyut, paman, bibi, saudara, kakak, adik, sepupu, kemenakan, istri, suami, ipar, mertua, menantu dan besan. Kata-kata yang terdapat dalam medan makna dapat digolongkan menjadi dua, yaitu yang termasuk golongan kolokasi dan golongan set.
1. Kolokasi (berasal dari bahasa latin colloco yag berarti ada di tempat yang sama dengan)
    menunjuk kepada hubu ngan sintagmatik yang terjadi antara unsur-unsur leksikal itu.
Misalnya: kata-kata lahar, lereng, puncak, curam dan lembah berada dalam lingkungan mengenai pegunungan.

      2. Set menuju pada hubungan sintagmatik karena kata-kata atau unsur-unsur yang berada
         dalam suatu set dapat saling menggantikan. Misalnya :remaja merupakan tahap
         pertumbuhan antara kanak-kanak dengan dewasa.

Set paradigmatik: bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, manula.






Contoh:
Banyak unsur leksikal dalam satu medan makna antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tidak sama besarnya, karena hal tersebut berkaitan erat dengan sistem budaya masyarakat pemilik bahasa itu.
*Bahasa Indonesia
Merah, coklat, baru. Hijau, kuning, abu-abu, putih dan hitam catatan menurut fisika putih adalah kumpulan berbagai warna sedangkan hitam adalah tak berwarna. Untuk menyatakan nuansa warna yang berbeda, Bahasa Indonesia memberi keterangan perbandingan seperti, merah darah, merah jambu, dan merah bata.

*Bahasa Inggris
Ada 10 warna yaitu white, red, yellow, purple, pink, orange, grey, blue.

*Bahasa Hunanco
Ada 4 warna yaitu (ma) biru, yakni warna hitam dan warna gelap lainnya. (ma) langit yairu warna putih dan warna lainnya. (ma) rarar yakni kelompok warna merah dan (ma) latuy yakni warna kuning, jhijau muda dan coklat muda.
Kata-kata atau leksem-leksem yang megelompokkan dalam satu medan makna, berdasrkan sifat hubungan semantisnya dapat di bedakan atas kelompok medan kolokasi dan medan set kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmantik yang terdapat antara kata-kata atau unsur-unsur leksikal itu. Misalnya, dalam kalimat.
(I). Supir metro mini mengintruksikan kepada karnet agar meminta onkos kepenumpang.
Kita dapati kata-kata supir, metromini, kernet, dan penumpang yang merupakan kata-kata dalam satu lokasi, satu tempat atau lingkungan yang sama, yang berkenan dengan lingkungan darat (dalam metromoni).
Kalau kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmantik, karena sifatnya yang linear, maka kelompok set menunjuk, pada hubungan pradigmatik, karena kata-kata yang berada dalam satu kelompok set biasanya mempunyai kelas yang sama dan tampaknya merupakan satu kesatuan. Setiap kata dalam set dibatasi oleh tempatnya dalam hubungan dengan anggota-anggota lain dalam set itu umpamanya, kata remajamerupakan tahap perkembangan dari anak-anak menjadi dewasa, sedangkan kata sejuki merupakan suhu diantara dingin dan hangat.

Maka kalau kata-kata yang satu set dengan remaja dan sejuk dibagankan adalah menjadi sebagai berikut:
Manula / lansia Terik
Dewasa Panas
Remaja Hangat
Kanak-kanak Sejuk
Bayi Dingin 
Pengelompokan kata atas kolokasi dan set ini besar artinya bagi kita dapat memahami konsep-konsep budaya yang ada dalam satu masyarakat bahasa. Namun pengelompokan ini sering kurang jelas karena adanya ketumpang tindihan unsur-unsur leksikal yang di kelompokkan itu, misalnya, kata karang dapat masuk dalam kelompok medan makna pariwisata dan dapat pula masuk kedalam kelompok medan makna pariwisata dan dapat pula dalam kelompok medan makna kelautan, selain itu pengelompokan kata atas medan makna ini tidak mempedulikan adanay nuansa makan, perbedaan makna denotasi dan konotasi.
Misalnya, kata remaja itu juga memiliki juga makna “belum dewasa”, keras kepala, bersifat kaku, suka mengganggu dan membantah, serta tidak konsisten, jadi pengelompokan kata atas medan makana ini hanya tertumpu pada makna dasar, makna denotatif, atau makana pusatnya saja.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
       Relasi makna dapat berwujud bermacam- macam antara lain : sinonimi, antonimi dan oposisi,homonimi,homofoni, homografi, hiponimidanhipernimi, polisemi, ambiguitas,redundansi. Sebab- sebab perubahan makna : Perkembangan dalam ilmu dan teknologi,  
Perkembangan sosial dan budaya, Perbedaan bidang pemakaian, Adanya asosiasi,
Pertukaran tanggapan indra, Adanya penyingkatan, Proses gramatikal, dan Pengembangan istilah. Medan makna adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu.

B.     Saran
       Saran penulis melalui makalah ini yaitu agar membaca senantiasa memperbanyak membaca buku-buku mengenai semantic dan meningkatkan kecintaan terhadap semantic agar mendapat lebih informasi mengenai semantic.




































DAFTAR PUSTAKA

Alieve, N.F. et. al(1991). Bahasa  Indonesia: Deskripsi dan  Teori. Yogyakarta: Kanisius.
Verhaar, J.W.M. (1996). Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University
            Press.
Chear, Abdul. (1994). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. (1995). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Bandung : Rineka  Cipta

Pateda, Mansoer. (2010). Semantik. Leksikal. Bandung : Rineka Cipta
















iii