BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Bahasa amat penting dalam
mobilitas sosial dan kehidupan manusia. Bahasa sebagai alat untuk mewujudkan
pikiran tentang fakta dan realitas yang direpresentasikan dengan simbol bunyi
bahasa. Dengan bahasa seorang bayi menangis untuk mengekspresikan dahaga, atau
perlunya ganti diaper. Dengan bahasa, seorang filsuf menemukan ekspresi atau
nama untuk merujuk sebuah konsep.
Istilah tentang definisi,
proposisi, hipotesis, aksioma, verifikasi, dan sebagainya sebagai penamaan
terhadap konsep-konsep itu sendiri adalah langkah pertama untuk membangun
pengetahuan. Kata adalah simbol lisan atau tulis bagi benda atau konsep yang
disebut referent sebagai objek kata.
Karena berkomunikasi menggunakan bahasa
untuk merujuk pada referent (rujukan), maka simbol itu harus permanen. Jika
tidak, komunikasi menjadi berantakan. Bila tidak dituliskan, bahasa akan
kehilangan sifat permanennya, sehingga rujukan bisa hilang. Karena itu, bahasa
tulis menjadi penting sebagai perekam peradaban manusia.
Sejumlah fungsi bahasa yang mendukung
dokumentasi peradaban manusia. Dalam literatur linguistik mengenal berbagai
fungsi bahasa dengan istilah yang kadang berbeda. Namun, intinya sama bahwa
bahasa mendokumentasikan peradaban.
Titus, dkk (1979) dalam Rasjidi (1984), setidaknya mengemukakan
beberapa fungsi bahasa diantaranya fungsi kognitif, fungsi emotif, fungsi
imperatif, fungsi seremonial, dan fungsi metalingual. Selain fungsi bahasa yang
dikemukakan itu, kita juga dapat mengetahui beberapa fungsi-fungsi bahasa lainnya.
Sedangkan Hymes (1974) dalam Kushartanti (2005) menyebutkan adanya
unsur-unsur yang terdapat dalam setiap komunikasi bahasa. Unsur-unsur itu,
meliputi setting and scene (latar), participants (peserta), ends (hasil), act sequence (amanat), key (cara),
instrumentalities (sarana), norms (norma),
dan genres (jenis).
Tampak
bahwa apa yang dikemukakan itu, mengenai aturan sosial berbahasa dan sebenarnya
tidak hanya menyangkut kesepakatan dalam pemakaian bahasa saja, tetapi juga
menyangkut fungsi bahasa.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana
fungsi bahasa dalam komunikasi?
2. Bagaimana
kedudukan kohesi dan koherensi dalam wacana?
C.
Tujuan
Adapaun tujuan penulisan makalah
ini sebagai berikut:
1. Sebagai
salah satu persyaratan dalam mengikuti kegiatan perkuliahan pada Mata Kuliah
Analisis Wacana di Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi Linguistik Pascasarjana
Universitas Hasanuddin.
2. Sebagai
bahan diskusi untuk mendalami lebih komprehensif bidang ilmu linguistik
khususnya kajian Analisis Wacana.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Bahasa
Sebelum membahas tentang
fungsi-fungsi bahasa dalam komunikasi, ada baiknya kita mengetahui dahulu
pengertian bahasa itu sendiri. Di dalam masyarakat, kata bahasa sering
dipergunakan dalam pelbagai konteks dengan pelbagai macam makna, seperti bahasa
bunga, bahasa diplomasi, bahasa militer, dan sebagainya. Lalu apakah bahasa
itu?
Bagi linguistik-‘ilmu yang
khusus mempelajari bahasa’-yang dimaksud dengan bahasa adalah sistem tanda
bunyi yang disepakati untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat
tertentu dalam bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa hakekat bahasa itu adalah pemahaman terhadap bahasa itu
sendiri sebagai alat komunikasi yang terbaik dimiliki seseorang sebagai pembeda
antara manusia dengan makhluk lainnya.
B.
Fungsi-Fungsi
Bahasa
Berbicara
mengenai fungsi penggunaan bahasa dalam komunikasi dapat diidentifikasi. Fungsi bahasa dalam komunikasi bisa
dijabarkan berdasarkan tanggapan atau respon mitra tutur.
Dalam
peristiwa komunikasi, bahasa dapat menampilkan fungsi yang beragam. Namun
secara umum, bahasa dapat digunakan untuk mengekspresikan emosi,
menginformasikan suatu fakta, memengaruhi orang lain, bercerita, mengobrol, dan
sejenisnya. Masing-masing fungsi bahasa itu dapat secara langsung dihubungkan
dengan salah satu komponen dalam komunikasi.
Fungsi-fungsi
bahasa yang dimaksud yaitu:
1. Fungsi Ekspresif
Fungsi ekspresif adalah bahasa
yang didayagunakan untuk meluapkan atau menyampaikan ekspresi si penutur kepada
diri sendiri atau khalayak ramai dengan maksud dan tujuan tertentu. Fungsi
bahasa ini biasanya digunakan untuk mengekspresikan emosi, keinginan,
kebahagiaan, kesedihan, penyampai pesan.
Contoh: - Aduh perutku mual!
- Ya, ampun, dia lucu sekali!
- Waw, enak sekali rasa kue pelangi ini!
Contoh-contoh tuturan tersebut, pemakaian fungsi
ekspresif mengungkapkan ekspresi rasa sakit dan rasa kagum.
2. Fungsi
Direktif
Fungsi
direktif berorientasi pada penerima pesan. Dalam hal ini, bahasa dapat
digunakan untuk memengaruhi orang lain. Baik dari segi emosi, perasaan, maupun
tingkah laku. Selain itu, bahasa juga dapat digunakan untuk memberi keterangan,
mengundang, memerintah, memesan, mengingatkan, mengancam, dan lainnya.
Contoh: -
Ayo, berangkat!
-Silahkan makan
-Bantu saya mendorong meja
ini.
Fungsi direktif pada contoh di atas
terlihat pada kata kerja yang memiliki makna perintah.
3. Fungsi
Informasional
Fungsi ini berfokus pada makna
dan dapat dipergunakan untuk menginformasikan sesuatu. Misalnya, melaporkan, mendeskripsikan,
menjelaskan, dan menginformasikan sesuatu. Contoh:
Saat
ini, kucing adalah salah satu hewan peliharaan terpopuler di dunia. Kucing yang
garis keturunannya tercatat secara resmi sebagai kucingtrah atau galur mumi
(pure breed), seperti persiam, siam, manx, sphinx. Kucing seperti ini biasanya
dibiakkan di tempat pemeliharaan hewan resmi.
4. Fungsi
Metalingual
Fungsi ini berfokus pada kode
dan digunakan untuk menyatakan sesuatu tentang bahasa. Contoh:
Bahan
bakar fosil di antaranya adalah minyak bumi, gas alam, dan batu bara. Bila
dibakar, maka akan menghasilkan SO2 dan NOx sebagai penyebab utama keasaman
dalam air hujan. Penghasil SO2 dan NOx terbesar adalah pembangkit tenaga
listrik dan industri yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar.
Pada contoh di atas, unsur lambang bahasanya
yaitu SO2 dan NOx. SO2 untuk melambangkan sulfur oksida, dan NOx untuk menyebut
nitrogen oksida. Kedua lambang itu mengacu pada zat yang banyak dihasilkan
dalam pembakaran. Artinya, kode bahasa ini digunakan untuk melambangkan kode
yang lain.
5. Fungsi
Interaksional
Fungsi interaksional, yakni
penggunaan bahasa yang memiliki hubungan timbal balik atau interaksi antara
penyapa dan yang disapa atau pesapa. Fungsi bahasa ini biasa ditemukan dalam
percakapan sehari-hari. Contohnya secara lisan adalah debat, wawancara,
diskusi, dan lain-lain. Sementara, dalam wacana tulis ada surat menyurat, chatting, dan lain-lain. Contoh:
Buruh 1: Kami
di sini sudah memberikan yang terbaik dan semaksimal mungkin pada perusahaan ini.
Jadi, sudah sewajarnya kamu melakukan
hal seperti ini, Pak. Bukannya ada dalam undang-undang tenaga kerja bahwa
pekerja berhak mengajukan beberapa permintaan ke tempat dia bekerja jika dia
sudah melakukan sesuatu yang sangat maksimal.
Buruh 2: Betul
sekalian, bukan tanpa dasar hukum yang tidak jelas dan alasan yang tidak masuk
akal kami berada di sini. Kami juga membawa data-data bahwa perusahaan ini,
dari bulan ke bulan income-nya semakin meningkat 15% dari bulan sebelumnya.
Perwakilan perusahaan: Tunggu, tapi sadarkah kalian melakukan hal
ini pada jam kerja? Bukannya melakukan konfirmasi melalui jalur birokrasi pada
perusahaan saja, itu, khan, lebih dewasa dan elegan. Tidak membuat suasana
menjadi kacau dan perusahaan merugi. Saya juga selaku direktur perusahaan ini
telah membuat beberapa kebijakan dengan membuat tunjangan anak dan istri kepada
kalian semua, dan mendaftarkan semua serikat pekerja kepada Jamsostek. Pihak
manajemen perusahaan cenderung tidak pernah memangkas upah kalian yang menurut
kami sudah sesuai UMR (Upah Minimum Regional) di kota ini.
6. Fungsi
Kontekstual
Fungsi kontekstual bahasa
berfokus pada konteks pemakaian bahasa. Fungsi tersebut berpedoman bahwa suatu
ujaran harus dipahami dengan mempertimbangkan konteksnya. Dengan alasan bahwa
suatu ujaran yang sama akan berbeda maknanya apabila berada dalam konteks yang
berbeda pula. Salah satu alat bantu untuk menafsirkan berdasarkan konteks
adalah dengan mempertimbangkan penanda-penanda kohesi dan acuan (reference) yang digunakan dalam situasi
komunikasi.
Contoh: -
Ini apa?
-Letakkan di situ.
Acuan kata ini bisa bergantung pada
konteks. Dan kita bisa mengetahui acuannya jika mendengarkan tuturan secara
utuh. Begitupun dengan acuan kata ‘di situ’, ‘Ini’ atau ‘di situ’ bisa jadi
sebuah objek, sebuah tempat atau lainnya.
7. Fungsi Puitik
Fungsi bahasa berorientasi pada kode dan makna
secara simultan. Artinya, kode
kebahasaan dipilih secara khusus agar dapat mewakili makna yang hendak
disampaikan si penutur. Biasanya, tuturan akan menimbulkan nilai rasa seni yang
unik, menggelitik, berbau metapora, dan lain-lain.
Contoh: - Tua-tua Keladi, makin tua makin jadi.
Bentuk ujaran ini lebih menekankan
kode kebahasaan dan makna sekaligus. Mengingat setiap penutur bahasa Indonesia
yang mempunyai kemampuan yang memadai akan memahami arti ujaran itu meski makna
ujaran tidak berhubungan dengan bentuk ujaran. Kata-kata yang dipilih tersebut
hanya mempertimbangkan rima atau persamaan bunyi semata, dan bukan kepada makna
dari kata-katanya.
C.
Konsep
Kohesi dan Koherensi
Kohesi dan koherensi dalam wacana
merupakan salah satu unsur pembangun wacana selain tema, konteks, unsur bahasa,
dan maksud. Kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur-unsur yang satu
dengan yang lain dalam wacana, sehingga tercipta pengertian yang baik
(Djajasudarma, 1994: 47).
Kohesi adalah pertautan makna, sedangkan koherensi adalah keruntutan
makna. Kohesi harus dibedakan pada tingkat wacana (proposisi) dan teks
(bentuk). Koherensi hanya pada tingkat wacana. Koherensi ditentukan oleh
kerangka acuan wacana.
1. Konsep Kohesi dalam Wacana
Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Kohesi juga merupakan
organisasi sintaksis dan merupakan wadah bagi kalimat yang disusun secara padu
dan padat untuk menghasilkan tuturan (Tarigan, 1987: 96). Pengetahuan strata
dan penguasaan kohesi yang baik memudahkan pemahaman tentang wacana. Wacana
bernar-benar bersifat kohesif apabila terdapat kesesuaian secara bentuk bahasa
terhadap konteks (James dalam Tarigan, 1987: 97).
Konsep kohesi mengacu pada
hubungan bentuk. Artinya, unsur-unsur (kata atau kalimat) yang digunakan untuk
menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan yang padu dan utuh. Dengan kata
lain, kohesi adalah aspek internal dari struktur wacana. Tarigan (1987: 96)
menambahkan bahwa penelitian terhadap unsur kohesi adalah bagian dari kajian
tentang aspek formal bahasa, dengan organisasi dan struktur kewacanaanya yang
berkonsentrasi pada dan bersifat sintaksis gramatikal.
Wacana yang baik dan utuh
adalah jika kalimat-kalimatnya bersifat kohesif. Hanya melalui hubungan yang
kohesif, maka ketergantungannya pada unsur-unsur lainnya. Hubungan kohesif
khusus yang bersifat lingual-formal. Selanjutnya, Halliday (1976: 4)
mengemukakan bahwa unsur-unsur kohesi wacana terdiri atas dua jenis, yaitu
kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Unsur-unsur kohesi gramatikal terdiri
dari reference (referensi), substitution (substitusi), ellipsis (elipsis), dan
conjunction (konjungsi), sedangkan unsur-unsur kohesi leksikal terdiri atas
reiteration (reiterasi) dan collocation (kolokasi).
Referensi atau penunjukan
merupakan bagian kohesi gramatikal yang berkaitan dengan penggunaan kata atau
kelompok kata untuk menunjuk kata atau kelompok kata atau satuan gramatikal
lainnya (Ramlan dalam Mulyana, 2005: 133). Dalam konteks wacana, penunjukan
terbagi atas dua jenis yaitu penunjukan eksoforik (di luar teks) dan penunjukan
endoforik (di dalam teks). Dalam aspek referensi, terlihat juga adanya
bentuk-bentuk pronomina (kata ganti
orang, kata ganti tempat, dan kata ganti lainnya).
Substitusi (penggantian)
adalah proses dan hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan
yang lebih besar. Proses substitusi merupakan hubungan gramatikal dan lebih
bersifat hubungan kata dan makna. Elipsis (penghilangan) adalah proses
penghilangan kata atau satuan-satuan kebahasaan lain. Bentuk atau unsur yang
dilesapkan itu dapat diperkirakan ujudnya dari konteks luar bahasa
(Kridalaksana, 1984: 40). Konjungsi atau kata sambung adalah bentuk atau satuan
kebahasaan yang berfungsi sebagai penyambung, perangkai, atau penghubung antara
kata dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, dan seterusnya Kridalaksana,
1984:105 dan Tarigan, 1987:101).
Kohesi leksikal adalah
hubungan leksikal antara bagian-bagian wacana untuk mendapatkan keserasian
struktur secara kohesif. Tujuan digunakannya aspek-aspek leksikal diantaranya
adalah untuk mendapatkan efek intensitas makna bahasa, kejelasan informasi, dan
keindahan bahasa lainnya.
2. Konsep Koherensi dalam Wacana
Brown dan Yule (1986: 224)
menegaskan bahwa koherensi berarti kepaduan dan keterpahaman antarsatuan dalam
suatu teks atau tuturan. Dalam stuktur wacana, aspek koherensi sangat
diperlukan keberadaannya untuk menata pertalian batinantara proposisi yang satu
dengan lainnya untuk mendapatkan keutuhan. Keutuhan yang koheren tersebut
dijabarkan oleh adanya hubungan-hubungan makna yang terjadi antarunsur secara
semantik. Hubungan tersebut kadang kala terjadi dengan alat batu kohesi, namun
kadang-kadang dapat terjadi tanpa bantuan alat kohesi, secara keseluruhan
hubungan makna yang bersifat koheren menjadi bagian dari organisasi semantis.
Keberadaan unsur koherensi
sebenarnya tidak pada satuan teks saja (secara formal), melainkan juga pada
kemampuan pembaca atau pendengar dalam menghubung-hubungkan makna dan
menginterpretasikan suatu bentuk wacana yang diterimanya. Jadi, kebermaknaan
unsur koherensi terletak pada kelengkapannya yang serasi antara
teks dengan pemahaman penutur atau pembaca (Brown, 1986:224).
Pada dasarnya, hubungan koherensi
adalah suatu rangkaian fakta dan gagasan yang teratur dan tersusun secara
logis. Koherensi dapat terjadi secara implisit karena berkaitan dengan bidang
makna yang memerlukan interpretasi. Harimurti (1984: 69) mengemukakan bahwa
hubungan koherensi wacana sebenarnya adalah hubungan makna atau maksud.
Artinya, antara kalimat bagian yang satu dengan kalimat lainnya secara semantis
memiliki hubungan makna. Kajian mengenai koherensi dalam tataran analisis
wacana merupakan hal mendasar dan relatif paling penting karena permasalahan
pokok dalam analisis wacana adalah bagaimana mengungkapkan hubungan-hubungan
yang rasional dan kaidah-kaidah tentang cara terbentuknya tuturan-tuturan yang koheren.
Suatu rangkaian kalimat dituntut
bersifat gramatikal sekaligus berhubungan secara logis dan kontekstual. Dengan
demikian analisis wacana juga merupakan analisis keruntutan dan kelogisan
berfikir. Jadi, koherensi adalah kepaduan antarbagian secara batiniah.
Bagian-bagian yang disebut proporsi tersebut membentuk jalinan semantik
sehingga tersusun kesatuan makna yang utuh.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah
dikemukakan terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa dalam
peristiwa komunikasi, bahasa dapat menampilkan fungsi yang beragam, seperti
fungsi ekspresi, direktif, informasional, metalingual, interaksional,
kontekstual, dan puitik. Namun secara umum, bahasa dapat digunakan untuk
mengekspresikan emosi, menginformasikan suatu fakta, memengaruhi orang lain,
bercerita, mengobrol, dan sejenisnya.
2. Bahwa
hakekat bahasa itu adalah pemahaman terhadap bahasa itu sendiri sebagai alat
komunikasi yang terbaik dimiliki seseorang sebagai pembeda antara manusia
dengan makhluk lainnya.
3.
Bahwa wacana
merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk
berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian
kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan dapat bersifat
transaksional atau interaksional. Dalam peristiwa komunikasi secara lisan,
dapat dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi antarpenyapa dan pesapa,
sedangkan dalam komunikasi secara tulis, wacana terlihat sebagai hasil dari
pengungkapan ide/gagasan penyapa.
4.
Bahwa istilah
kohesi mengacu pada hubungan antarbagian dalam sebuah teks yang ditandai oleh
penggunaan unsur bahasa sebagai pengikatnya. Kohesi merupakan salah satu unsur
pembentuk koherensi. Oleh sebab itu, dalam sebuah teks koherensi lebih penting.
Koherensi adalah kepaduan gagasan antarbagian dalam wacana. Kohesi merupakan
salah satu cara untuk membentuk koherensi. Cara lain adalah menggunakan
bentuk-bentuk yang mempunyai hubungan parataksis dan hipotaksis (parataxis and hypotaxis). Hubungan
parataksis itu dapat diciptakan dengan menggunakan pernyataan atau gagasan yang
sejajar (coordinative) dan
subordinatif. Penataan koordinatif berarti menata ide yang sejajar secara
beruntun
B.
Saran
Dari uraian di atas, beberapa
hal dapat menjadi saran berikut:
1. Bahwa
analisis wacana terus berkembang, dan makin diminati terutama karena mengkaji data
bahasa secara utuh yang digunakan dalam komunikasi, baik komunikasi lisan
maupun tulis. Karenanya, wawasan penganalisis wacana atas bidang linguistik
yang lain, seperti sintaksis, semantik, pragmatik, dan sosiolinguistik amat
diperlukan.
2. Bahwa
perkembangan analisis wacana menunjukkan babakan baru pada analisis wacana
kritis (critical discourse analaysis),
yang dapat dijadikan penyampaian kritik terhadap penguasa negara sebagai
pengguna bahasa.
DAFTAR
PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar.
2010. Filsafat Bahasa dan Pendidikan
(Cetakan Ke-2). Bandung: Remaja Rosdakarya.
Brown dan Yule. 1986. Discourse Analaysis. Cambrigde:
Cambrigde University Press.
Kushartanti, dkk. 2005. Pesona Bahasa; Langkah Awal Memahami Linguistik.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, Harimurti.
1984. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende:
Nusa Indah.
Parera, J.D. 2004. Teori Semantik (Edisi Kedua). Jakarta:
Erlangga.
http://www.bimbie.com/2013/21/2.