Picture

Picture
Picturku

Selasa, 26 Maret 2013

Tindak Tutur


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tindak tutur sebenarnya merupakan salah satu fenomena dalam masalah yang lebih luas, yang dikenal dengan istilah pragmatik. Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule, misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Thomas menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran , mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).
Dalam studi sosiolinguistik telah seringkali dijelaskan, bahwa bahasa merupakan sebuah sistem, artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Di sisi lain bahasa juga bersifat dinamis, maksudnya, bahasa itu tidak terlepas dari berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada tataran apa saja: fonologis, morfologis, sintaksis, semantik, dan leksikon. Bahasa juga merupakan alat interaksi sosial atau alat komunikasi manusia. Dalam konteks yang terakhir ini, diakui bahwa manusia dapat juga menggunakan alat lain untuk berkomunikasi, tetapi tampaknya bahasa merupakan alat komunikasi yang paling baik di antara alat-alat komunikasi lainnya. Apalagi bila dibandingkan dengan alat komunikasi yang digunakan makhluk sosial lain, yakni hewan. Dalam setiap komunikasi manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Maka, dalam setiap proses komunikasi ini terjadilah apa yang disebut “peristiwa tutur” dan “tindak tutur” dalam satu “situasi tutur”.

B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka pada tulisan ini masalah yang dapat kami rumuskan adalah apa yang dimaksud peristiwa tutur dan tindak tutur?

C.  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui teori-teori tentang peristiwa tutur dan tindak tutur.





















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur (inggris: speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Jadi, interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang dan pembeli di pasar pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur. Peristiwa serupa kita dapati pula dalam acara diskusi di ruang kuliah, rapat dinas di kantor, sidang di pengadilan, dan sebagainya.
Sebuah percakapan dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur kalau memenuhi beberapa persyaratan. Del Hymes (1972), seorang pakar linguistik terkenal menjelaskan, bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang apabila huruf-huruf pertamannya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen tersebut adalah:
S (= Setting and scene)
P (=Participants)
E (= Ends : Purpose and goal)
A (= Act sequences)
K (= Key : tone or spirit of act)
I (= Instrumentalities)
N (=Norms of Interaction and interpretation)
G (= Gennres)[1][3]
Setting and scene. Di sini setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di lapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan sepak bola dalam situasi ramai tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang membaca dan dalam keadaan sunyi. Di lapangan sepak bola kita bisa berbicara keras-keras, tapi di ruang perpustakaan harus seperlahan mungkin.
Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima pesan. Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara atau pendengar, tetapi dalam khutbah di masjid, khotib sebagai pembicara dan jamaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda bila berbicara dengan orang tuanya atau gurunya bila dibandingan kalau dia berbicara terhadap teman-teman sebayannya.
Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara, namun, para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan si terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa si terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan dengan adil.
Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu pula dengan isi yang dibicarakan.
Key, mengacu pada nada, cara dan semangat di mana suatu pesan disampaian dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.
Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, ragam, atau register.
Norm of interaction and interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.
Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan sebagainya.
B.  Sejarah Tindak Tutur
Bahasa dalam keadaannya yang abstrak (karena berada di dalam benak) tidak bisa langsung dicapai oleh pengamat tanpa melalui medium buatan seperti kamus dan buku tata bahasa. Menurut pengalaman nyata, bahasa itu selalu muncul dalam bentuk tindakan atau tingkah tutur individual. Karena itu tiap telaah struktur bahasa harus dimulai dari pengkajian tindak tutur. Wujudnya ialah bahasa lisan.
Peristiwa tutur merupakan peristiwa sosial karena menyangkut pihak-pihak yang bertutur dalam satu situasi dan tempat tertentu. Peristiwa tutur ini pada dasarnya merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur (inggris: speech act) yang terorganisasikan untuk mencapai suatu tujuan. Kalau peristiwa tutur merupakan gejala sosial seperti disebut di atas, maka tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Kalau dalam peristiwa tutur lebih dilihat pada tujuan peristiwannya, tetapi dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Tindak tutur dan peristiwa tutur merupakan dua gejala yang terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi.
Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L. Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard, pada tahun 1956. Teori yang berasal dari materi kuliah itu kemudian dibukukan oleh J.O. Urmson (1965) dengan judul How to do Thing with Word ? tetapi teori tersebut baru menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan buku berjudul Speech Act and Essay in The Philosophy of Language.
C. Teori Tindak Tutur
Tindak tutur atau tindak ujar (speech act) merupakan entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur merupakan dasar bagi nanalisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan. Kajian pragmatik yang tidak mendasarkan analisisnya pada tindak tutur bukanlah kajian pragmatik dalam arti yang sebenarnya.
Suwito dalam bukunya Sosiolinguistik: Teori dan Problem mengemukakan jika peristiwa tutur (speech event) merupakan gejala sosial dan terdapat interaksi antara penutur dalam situasi dan tempat tertentu, maka tindak tutur lebih cenderung sebagai gejala individual, bersifat psikologis dan ditentukanm oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Jika dalam peristiwa tutur orang menitikberatkan pada tujuan peristiwa, maka dalam tindak tutur lebih memperhatikan makna atau arti tindakan dalam tuturan itu.
Dari literatur pragmatik, dapat dijelaskan bahwa tindak tutur adalah tuturan dari seseorang yang bersifat psikologis dan yang dilihat dari makna tindakan dalam tuturannya itu. serangkaian tindak tutur akan membentuk suatu peristiwa tutur (speech event). Jadi dapat disimpulkan bahwa tindak tutur merupakan suatu ujaran yang mengandung tindakan sebagai suatu fungsional dalam komunikasi yang mempertimbangkan aspek situasi tutur.
Sebelum membicarakan teori mengenai tindak tutur itu lebih lanjut lagi, ada baiknya kita bicarakan dulu mengenai pembagian jenis kalimat yang dilakukan oleh para ahli tata bahasa tradisional. Menurut tata bahasa tradisional ada tiga jenis kalimat yaitu, kalimat deklaratif, kalimat interogatif, dan kalimat imperatif. Kalimat deklaratif adalah kalimat yang isinya hanya meminta pendengar atau yang mendengar kalimat itu untuk menaruh perhatian saja, tidak usah melakukan apa-apa sebab maksud si pengujar hanya untuk memberitahukan saja. Kalimat interogatif adalah kalimat yang isinya meminta agar pendengar atau orang yang mendengar kalimat itu untuk memberi jawaban secara lisan. Jadi yang diminta bukan hanya sekedar perhatian, melainkan juga jawaban. Sedangkan kalimat imperatif adalah kalimat yang isinya meminta agar si  pendengar atau yang mendengar kalimat itu memberi tanggapan berupa tindakan atau perbuatan yang diminta.
Pembagian kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif adalah berdasarkan bentuk kalimat secara terlepas. Artinya kalimat dilihat atau dipandang sebagai satu bentuk keutuhan tertinggi. Kalau kalimat-kalimat itu dipandang pada tataran yang lebih tinggi yakni dari tingkat wacana maka kalimat-kalimat tersebut dapat saja menjadi tidak sama antara bentuk formalnya dengan bentuk isinya. Ada kemungkinan sebuah kalimat deklaratif atau kalimat interogatif tidak lagi berisi pernyataan dan pertanyaan melainkan menjadi berisi perintah. Hal ini dilakukan untuk mempertimbangkan norma sosial dan etika tutur. Jadi, bukan kalimat imperatif yang diujarkan melainkan kalimat deklaratif atau interogatif.
Austin(1962) membedakan kalimat deklaratif berdasarkan maknanya menjadi kalimat konstatif dan kalimat performatif. Yang dimaksud dengan kalimat konstatif adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka seperti “Ibu dosen kami cantik sekali”, atau “Pagi tadi dia terlambat bangun”. Sedangkan yang dimaksud dengan kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuan. Artinya apa yang diucapkan oleh si pengujar berisi apa yang dilakukannya. Misalnya, kalau seorang rektor mengatakan, “Dengan mengucapkan Bismillah acara pelatihan ini saya buka”, maka makna kalimat itu adalah apa yang diucapkannya. Atau dengan kata lain, apa yang dilakukannya itu adalah apa yang diucapkannya.
Kalimat performatif dapat digunakan untuk mengungkapkan sesuatu secara eksplisit dan implisit. Secara eksplisit, artinya, dengan menghadirkan kata-kata yang mengacu pada pelaku seperti saya atau kami. Umpamanya, “Saya berjanji akan mengirimkan uang itu secepatnya”. Sedangkan kalimat performatif yang implisit adalah yang tanpa menghadirkan kata-kata yang menyatakan pelaku. Misalnya “jalan ditutup” (yang secara implisit memperingatkan untuk tidak melewati jalan itu). Di balik kalimat-kalimat performatif yang implisit itu tentunya ada pihak yang meminta agar kita melakukan apa yang dimintanya.
Austin (1960:150-163) membagi kalimat performatif menjadi lima kategori, yaitu (1) kalimat verdiktif yakni kalimat perlakuan yang menyatakan keputusan atau penilaian, misalnya, “Kami menyatakan terdakwa bersalah”; (2) kalimat eksersitif yakni kalimat perlakuan yang menyatakan nasihat, peringatan, dan sebagainya, misalnya, “Kami harap kalian setuju dengan keputusan ini”; (3) kalimat komisif adalah kalimat perlakuan yang dicirikan dengan perjanjian, pembicara berjanji dengan Anda untuk melakukan sesuatu, misalnya, “Besok kita menonton sepak bola”; (4) kalimat behatitif adalah kalimat perlakuan yang berhubungan dengan tingkah laku sosial karena seseorang mendapat keberuntungan atau kemalangan, misalnya, “Saya mengucapkan selamat atas pelantikan Anda menjadi mahasiswa teladan”; dan (5) kalimat ekspositif adalah kalimat perlakuan yang memberi penjelasan, keterangan, atau perincian kepada seseorang, misalnya, “Saya jelaskan kepada Anda bahwa dia tidak bersalah”.
Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin (1962: 100-102) dirumuskan sebagai tiga peristiwa tindakan yang berlangsung sekaligus, yaitu:
1)   Tindak tutur lokusi, yakni tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami (pernyataan). Misalnya, “Ibu berkata kepada saya agar saya membantunya”.
2)   Tindak tutur ilokusi, adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ilokusi biasanya berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan. Misalnya “Ibu menyuruh saya agar segera berangkat”. Kalau tindak tutur ilokusi hanya berkaitan dengan makna, maka makna tindak tutur ilokusi berkaitan dengan nilai, yang dibawakan oleh preposisinya.
3)   Tindak tutur perlokusi, adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistic dari orang lain itu. Misalnya, karena adanya ucapan dokter (kepada pasiennya) “Mungkin ibu menderita penyakit jantung koroner”, maka si pasien akan panik dan sedih.  
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu sebagaimana adanya atau The Act of Saying Something tindakan untuk mengatakan sesuatu. Fokus lokusi adalah makna tuturan yang diucapkan, bukan mempermasalahkan maksud atau fungsi tuturan itu. Rohmadi mendefinisikan bahwa lokusi adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Lokusi dapat dikatakan sebagai the act of saying something. Tindak lokusi merupakan tindakan yang paling mudah diidentifikasi karena dalam pengidentifikasiannya tidak memperhitungkan konteks tuturan. Dengan kata lain, tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Misalnya:
1.      Jembatan Suramadu menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Madura
2.      Tahun 2004 gempa dan tsunami melanda Banda Aceh.
Dua kalimat di atas dituturkan oleh seorang penutur semata-mata hanya untuk memberi informasi sesuatu belaka, tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu. apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Informasi yang diberikan pada kalimat pertama adalah mengenai jembatan Suramadu yang menghubungkan pulau Jawa dan Pulau Madura. Sedangkan kalimat kedua memberi informasi mengenai gempa dan tsunami yang pada tahun 2004 melanda Banda Aceh. Lalu, apabila disimak baik-baik tampaknya tindak tutur louksi ini hanya memberi makna secara harfiah, seperti yang dinyatakan dalam kalimatnya.
Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit. Menurut pendapat Austin ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan. Bagi Austin, tujuan penutur dalam bertutur bukan hanya untuk memproduksi kalimat-kalimat yang memiliki pengertian dan acuan tertentu. Bahkan tujuannya adalah untuk menghasilkan kalimat-kalimat yang memberikan konstribusi jenis gerakan interaksional tertentu pada komunikasi. Tindak tutur ilokusi ini biasanya berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan. Misalnya:
1.  Sudah hampir pukul tujuh
Kalimat di atas bila dituturkan oleh seorang suami kepada istrinya di pagi hari, selain memberi informasi tentang waktu, juga berisi tindakan yaitu mengingatkan si istri bahwa si suami harus segera berangkat ke kantor, jadi minta disediakan sarapan. Oleh karena itu, si istri akan menjawab mungkin seperti kalimat berikut, “Ya Pak! Sebentar lagi sarapan siap.
Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistik dari orang lain. Misalnya:
1. Rumah saya jauh sih
2. Minggu lalu saya ada keperluan keluarga yang tidak dapat ditinggalkan
Tuturan pada kalimat pertama bukan hanya memberi informasi bahwa rumah si penutur itu jauh, tetapi juga bila dituturkan oleh seorang guru kepada kepala sekolah dalam rapat penyusunan jadwal pelajaran pada awal tahun menyatakan maksud bahwa si penutur tidak dapat datang tepat waktu pada jam pertama. Maka efeknya atau pengaruhnya yang diharapkan si kepala sekolah akan memberi tugas mengajar tidak pada jam-jam pertama, melainkan pada jam-jam lebih siang. Kalimat kedua selain memberi informasi bahwa si penutur pada minggu lalu ada kegiatan di keluarga, juga bila dituturkan pada lawan tutur yang pada minggu lalu mengundang untuk hadir pada resepsi pernikahan, bermaksud juga minta maaf. Lalu, efek yang diharapkan adalah agar si lawan tutur memberi maaf kepada si penutur.
Untuk memperjelas pemahaman kita tentang lokusi, ilokusi dan perlokusi dapat kita lihat dengan memberi contoh dalam satu tuturan.
“Anjing galak itu ada di kebun”
Jika penutur yang mengatakan kalimat tersebut sedang berusaha memproduksi kalimat yang maknanya didasarkan pada acuan anjing dan kebun tertentu dalam dunia luar, maka penutur ini sedang memproduksi tindak lokusi. Sedangkan jika si penutur bermaksud memperingatkan seseorang agar tidak masuk ke dalam kebun karena di dalam kebun ada anjing galak, maka peringatan merupakan daya ilokusi ujaran itu. Dan Jika dengan mengujarkan “Anjing galak itu ada di kebun”, penutur berhasil menghalangi pendengarnya untuk masuk ke dalam kebun, maka melalui ujaran ini, penutur telah melakukan suatu tindak perlokusi.                       
Pencetus teori tindak tutur, Searle membagi tindak tutur menjadi lima kategori:
1. Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkan. Tindak tutur jenis ini juga disebut dengan tindak tutur asertif. Yang termasuk tindak tutur jenis ini adalah tuturan menyatakan, menuntut, mengakui, menunjukkan, melaporkan, memberikan kesaksian, menyebutkan, berspekulasi. Contoh jenis tuturan ini adalah: “Adik selalu unggul di kelasnya”. Tuturan tersebut termasuk tindak tutur representatif sebab berisi informasi yang penuturnya terikat oleh kebenaran isi tuturan tersebut. Penutur bertanggung jawab bahwa tuturan yang diucapkan itu memang fakta dan dapat dibuktikan di lapangan bahwa si adik rajin belajar dan selalu mendapatkan peringkat pertama di kelasnya. Contoh yang lain adalah: “Tim sepak bola andalanku menang telak”, “Bapak gubernur meresmikan gedung baru ini”.
2.  Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tindak tutur direktif disebut juga dengan tindak tutur impositif. Yang termasuk ke dalam tindak tutur jenis ini antara lain tuturan meminta, mengajak, memaksa, menyarankan, mendesak, menyuruh, menagih, memerintah, mendesak, memohon, menantang, memberi aba-aba. Contohnya adalah “Bantu aku memperbaiki tugas ini”. Contoh tersebut termasuk ke dalam tindak tutur jenis direktif sebab tuturan itu dituturkan dimaksudkan penuturnya agar melakukan tindakan yang sesuai yang disebutkan dalam tuturannya yakni membantu memperbaiki tugas. Indikator dari tuturan direktif adalah adanya suatu tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur setelah mendengar tuturan tersebut.
3. Ekspresif/evaluatif. Tindak tutur ini disebut juga dengan tindak tutur evaluatif. Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu, meliputi tuturan mengucapkan terima kasih, mengeluh, mengucapkan selamat, menyanjung, memuji, meyalahkan, dan mengkritik. Tuturan “Sudah kerja keras mencari uang, tetap saja hasilnya tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga”. Tuturan tersebut merupakan tindak tutur ekspresif mengeluh yang dapat diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang dituturkannya, yaitu usaha mencari uang yang hasilnya selalu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Contoh tuturan lain adalah “Pertanyaanmu bagus sekali” (memuji), “Gara-gara kecerobohan kamu, kelompok kita didiskualifikasi dari kompetisi ini” (menyalahkan),  “Selamat ya, Bu, anak Anda perempuan” (mengucapkan selamat).
4.  Komisif. Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam ujarannya, misalnya bersumpah, berjanji, mengancam, menyatakan kesanggupan, berkaul. Contoh tindak tutur komisif kesanggupan adalah “Saya sanggup melaksanakan amanah ini dengan baik”. Tuturan itu mengikat penuturnya  untuk melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya. Hal ini membawa konsekuensi bagi dirinya untuk memenuhi apa yang telah dituturkannya. Cotoh tuturan yang lain adalah “Besok saya akan datang ke pameran lukisan Anda”, “Jika sore nanti hujan, aku tidak jadi berangkat ke Solo”.
5.  Deklaratif/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dsb) yang baru. Tindak tutur ini disebut juga dengan istilah isbati. Yang termasuk ke dalam jenis tuutran ini adalah tuturan dengan maksud mengesankan, memutuskan, membatalkan, melarang, mengabulkan, mengizinkan, menggolongkan, mengangkat, mengampuni, memaafkan. Tindak tutur deklarasi dapat dilihat dari contoh berikut ini.
“Ibu tidak jadi membelikan adik mainan.” (membatalkan)
 “Bapak memaafkan kesalahanmu.” (memaafkan)
“Saya memutuskan untuk mengajar di SMA almamater saya.” (memutuskan).

Tindak tutur juga dibedakan menjadi dua yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung merupakan bentuk deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu pernyataan, sedangkan tindak tutur tidak langsung merupakan bentuk deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu permohonan. Penggunaan tuturan secara konvensional menandai kelangsungan suatu tindak tutur langsung. Tuturan deklaratif, tuturan interogatif, dan tuturan imperatif secara konvensional dituturkan untuk menyatakan suatu informasi, menanyakan sesuatu, dan memerintahkan mitra tutur melakukan sesuatu. Kesesuaian antara modus dan fungsinya secara konvensional inilah yang merupakan tindak tutur langsung. Sebaliknya, jika tututan deklaratif digunakan untuk bertanya atau memerintah atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan secara tidak konvensional, tuturan itu merupakan tindak tutur tidak langsung. Misalnya, pernyataan “Di luar dingin”. Jika tuturan ini digunakan untuk membuat suatu pernyataan dengan maksud menginformasikan kepada pendengar tentang cuaca maka tuturan tersebut berfungsi sebagai tindak tutur langsung. Sedangkan jika tuturan itu digunakan untuk membuat suatu perintah atau permohonan dalam arti si penutur memohon kepada pendengar agar menutup pintu, maka tuturan tersebut berfungsi sebagai suatu tindak tutur tidak langsung.



































BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Dari hasil pembahasan pada bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa :
1)      Tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu.
2)      Peristiwa tutur merupakan peristiwa sosial karena menyangkut pihak-pihak yang bertutur dalam satu situasi dan tempat tertentu. Peristiwa tutur ini pada dasarnya merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur (inggris: speech act) yang terorganisasikan untuk mencapai suatu tujuan.
3)      Austin(1962) membedakan kalimat deklaratif berdasarkan maknanya menjadi kalimat konstatif dan kalimat performatif.
4)      Pencetus teori tindak tutur, Searle membagi tindak tutur menjadi lima kategori yakni representative, komisif, direktif, ekspresif, dan deklaratif.
5)      Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin dirumuskan sebagai tiga peristiwa tindakan yang berlangsung sekaligus, yaitu: lokusi, ilokusi dan perlokusi.

B.     Saran
            Besar harapan kami dari penulis agar apa yang telah kami paparkan dalam makalah ini bisa bermanfaat dan dapat menambah wawasan bagi pembaca. Serta apa yang kami sajikan dapat dipergunakan untuk kepentingan yang positif sehingga berdampak baik bagi penulis maupun pembaca.
            Dalam penulisan makalah ini kami sebagai penulis merasa bahwa apa yang telah kami sajikan masih jauh dari kesempurnaan. Olehnya kami masih mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi penyempurnaan makalah selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA



Agustina. 1995. Pragmatik dalam Pengajaran Bahasa Indonesia. Padang: IKIP Padang.

Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.

Cummings, Louise. 2007. Pragmatik (Sebuah Perspektif Multidisipliner). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hasanuddin WS, dkk. 2009. Ensiklopedi Kebahasaan Indonesia. Bandung: Angkasa.

Rahardi, R. Kunjana. Pragmatik (Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia). Jakarta: Erlangga.

Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.

Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford. Oxford University Press.




4 komentar:

  1. sangat amat membantu sekali, terima kasih

    BalasHapus
  2. Best Slots Machines for 2021 - DRMCD
    Best Slots 전라남도 출장안마 Machines for 2021. We 이천 출장마사지 have hundreds of slot machines that 하남 출장샵 are just some of the best-selling 정읍 출장샵 slots machine apps. 창원 출장마사지 Play casino games with real money.

    BalasHapus