BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak tutur sebenarnya merupakan
salah satu fenomena dalam masalah yang lebih luas, yang dikenal dengan istilah
pragmatik. Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule,
misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji
makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang
yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang
dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang
mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang
terlibat dalam percakapan tertentu. Thomas menyebut dua kecenderungan dalam
pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang
sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning);
dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik
dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya
Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis
yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks
ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari
sebuah ujaran , mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna
dalam interaksi (meaning in interaction).
Dalam studi sosiolinguistik telah
seringkali dijelaskan, bahwa bahasa merupakan sebuah sistem, artinya bahasa itu
dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat
dikaidahkan. Di sisi lain bahasa juga bersifat dinamis, maksudnya, bahasa itu
tidak terlepas dari berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu dapat
terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada tataran apa saja: fonologis,
morfologis, sintaksis, semantik, dan leksikon. Bahasa juga merupakan alat
interaksi sosial atau alat komunikasi manusia. Dalam konteks yang terakhir ini,
diakui bahwa manusia dapat juga menggunakan alat lain untuk berkomunikasi,
tetapi tampaknya bahasa merupakan alat komunikasi yang paling baik di antara
alat-alat komunikasi lainnya. Apalagi bila dibandingkan dengan alat komunikasi
yang digunakan makhluk sosial lain, yakni hewan. Dalam setiap komunikasi
manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan,
maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Maka, dalam setiap proses
komunikasi ini terjadilah apa yang disebut “peristiwa tutur” dan “tindak tutur”
dalam satu “situasi tutur”.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka pada tulisan ini masalah
yang dapat kami rumuskan adalah apa yang dimaksud peristiwa tutur dan tindak tutur?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui
teori-teori tentang peristiwa tutur dan tindak tutur.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur (inggris: speech event) adalah
terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran
atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan
satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Jadi,
interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang dan pembeli di pasar pada
waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah
sebuah peristiwa tutur. Peristiwa serupa kita dapati pula dalam acara diskusi
di ruang kuliah, rapat dinas di kantor, sidang di pengadilan, dan sebagainya.
Sebuah percakapan dapat disebut sebagai sebuah peristiwa
tutur kalau memenuhi beberapa persyaratan. Del Hymes (1972), seorang pakar
linguistik terkenal menjelaskan, bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi
delapan komponen, yang apabila huruf-huruf pertamannya dirangkaikan menjadi
akronim SPEAKING. Kedelapan komponen tersebut adalah:
S (= Setting and scene)
P (=Participants)
E (= Ends : Purpose and goal)
A (= Act sequences)
K (= Key : tone or spirit of act)
I (= Instrumentalities)
N (=Norms of Interaction and
interpretation)
G (= Gennres)[1][3]
Setting and scene. Di sini setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur
berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau
situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda
dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di lapangan
sepak bola pada waktu ada pertandingan sepak bola dalam situasi ramai tentu
berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang
membaca dan dalam keadaan sunyi. Di lapangan sepak bola kita bisa berbicara
keras-keras, tapi di ruang perpustakaan harus seperlahan mungkin.
Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa
pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima pesan.
Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara atau
pendengar, tetapi dalam khutbah di masjid, khotib sebagai pembicara dan jamaah
sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan sangat
menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan
ragam atau gaya bahasa yang berbeda bila berbicara dengan orang tuanya atau
gurunya bila dibandingan kalau dia berbicara terhadap teman-teman sebayannya.
Ends,
merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di ruang
pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara, namun, para
partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa
ingin membuktikan kesalahan si terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa si
terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan dengan
adil.
Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini
berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya dan hubungan
antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah
umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu pula
dengan isi yang dibicarakan.
Key,
mengacu pada nada, cara dan semangat di mana suatu pesan disampaian dengan
senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek,
dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.
Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur
lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga
mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, ragam, atau
register.
Norm of interaction and interpretation, mengacu pada norma atau aturan
dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi,
bertanya, dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran
dari lawan bicara.
Genre,
mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan
sebagainya.
B. Sejarah Tindak Tutur
Bahasa dalam keadaannya yang abstrak
(karena berada di dalam benak) tidak bisa langsung dicapai oleh pengamat tanpa
melalui medium buatan seperti kamus dan buku tata bahasa. Menurut pengalaman
nyata, bahasa itu selalu muncul dalam bentuk tindakan atau tingkah tutur
individual. Karena itu tiap telaah struktur bahasa harus dimulai dari
pengkajian tindak tutur. Wujudnya ialah bahasa lisan.
Peristiwa tutur merupakan peristiwa
sosial karena menyangkut pihak-pihak yang bertutur dalam satu situasi dan
tempat tertentu. Peristiwa tutur ini pada dasarnya merupakan rangkaian dari
sejumlah tindak tutur (inggris: speech act) yang terorganisasikan untuk
mencapai suatu tujuan. Kalau peristiwa tutur merupakan gejala sosial seperti
disebut di atas, maka tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat
psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur
dalam menghadapi situasi tertentu. Kalau dalam peristiwa tutur lebih dilihat pada tujuan peristiwannya, tetapi
dalam tindak tutur lebih dilihat
pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Tindak tutur dan peristiwa
tutur merupakan dua gejala yang terdapat pada satu proses, yakni proses
komunikasi.
Istilah dan teori mengenai tindak
tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L. Austin, seorang guru besar di
Universitas Harvard, pada tahun 1956. Teori yang berasal dari materi kuliah itu
kemudian dibukukan oleh J.O. Urmson (1965) dengan judul How to do Thing with
Word ? tetapi teori tersebut baru menjadi terkenal dalam studi linguistik
setelah Searle (1969) menerbitkan buku berjudul Speech Act and Essay in The
Philosophy of Language.
C. Teori Tindak Tutur
Tindak tutur atau tindak ujar (speech act) merupakan entitas yang
bersifat sentral dalam pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik.
Tindak tutur merupakan dasar bagi nanalisis topik-topik pragmatik lain seperti
praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerja sama, dan prinsip
kesantunan. Kajian pragmatik yang tidak mendasarkan analisisnya pada tindak
tutur bukanlah kajian pragmatik dalam arti yang sebenarnya.
Suwito dalam bukunya Sosiolinguistik: Teori dan Problem mengemukakan
jika peristiwa tutur (speech event) merupakan gejala sosial dan terdapat
interaksi antara penutur dalam situasi dan tempat tertentu, maka tindak tutur
lebih cenderung sebagai gejala individual, bersifat psikologis dan ditentukanm
oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Jika dalam
peristiwa tutur orang menitikberatkan pada tujuan peristiwa, maka dalam tindak
tutur lebih memperhatikan makna atau arti tindakan dalam tuturan itu.
Dari
literatur pragmatik, dapat dijelaskan bahwa tindak tutur adalah tuturan dari seseorang yang bersifat psikologis
dan yang dilihat dari makna tindakan dalam tuturannya itu. serangkaian tindak
tutur akan membentuk suatu peristiwa tutur (speech event). Jadi dapat
disimpulkan bahwa tindak tutur merupakan suatu ujaran yang mengandung tindakan
sebagai suatu fungsional dalam komunikasi yang mempertimbangkan aspek situasi
tutur.
Sebelum membicarakan teori mengenai tindak tutur
itu lebih lanjut lagi, ada baiknya kita bicarakan dulu mengenai pembagian jenis
kalimat yang dilakukan oleh para ahli tata bahasa tradisional. Menurut tata
bahasa tradisional ada tiga jenis kalimat yaitu, kalimat deklaratif,
kalimat interogatif, dan kalimat imperatif. Kalimat deklaratif
adalah kalimat yang isinya hanya meminta pendengar atau yang mendengar kalimat
itu untuk menaruh perhatian saja, tidak usah melakukan apa-apa sebab maksud si
pengujar hanya untuk memberitahukan saja. Kalimat interogatif adalah
kalimat yang isinya meminta agar pendengar atau orang yang mendengar kalimat
itu untuk memberi jawaban secara lisan. Jadi yang diminta bukan hanya sekedar
perhatian, melainkan juga jawaban. Sedangkan kalimat imperatif adalah
kalimat yang isinya meminta agar si
pendengar atau yang mendengar kalimat itu memberi tanggapan berupa
tindakan atau perbuatan yang diminta.
Pembagian kalimat deklaratif, interogatif, dan
imperatif adalah berdasarkan bentuk kalimat secara terlepas. Artinya kalimat
dilihat atau dipandang sebagai satu bentuk keutuhan tertinggi. Kalau
kalimat-kalimat itu dipandang pada tataran yang lebih tinggi yakni dari tingkat
wacana maka kalimat-kalimat tersebut dapat saja menjadi tidak sama antara
bentuk formalnya dengan bentuk isinya. Ada kemungkinan sebuah kalimat deklaratif
atau kalimat interogatif tidak lagi berisi pernyataan dan pertanyaan melainkan
menjadi berisi perintah. Hal ini dilakukan untuk mempertimbangkan norma sosial
dan etika tutur. Jadi, bukan kalimat imperatif yang diujarkan melainkan kalimat
deklaratif atau interogatif.
Austin(1962) membedakan kalimat deklaratif
berdasarkan maknanya menjadi kalimat konstatif dan kalimat performatif.
Yang dimaksud dengan kalimat konstatif adalah kalimat yang berisi
pernyataan belaka seperti “Ibu dosen kami cantik sekali”, atau “Pagi tadi dia
terlambat bangun”. Sedangkan yang dimaksud dengan kalimat performatif
adalah kalimat yang berisi perlakuan. Artinya apa yang diucapkan oleh si
pengujar berisi apa yang dilakukannya. Misalnya, kalau seorang rektor
mengatakan, “Dengan mengucapkan Bismillah acara pelatihan ini saya buka”, maka
makna kalimat itu adalah apa yang diucapkannya. Atau dengan kata lain, apa yang
dilakukannya itu adalah apa yang diucapkannya.
Kalimat performatif dapat digunakan untuk
mengungkapkan sesuatu secara eksplisit dan implisit. Secara eksplisit, artinya,
dengan menghadirkan kata-kata yang mengacu pada pelaku seperti saya atau kami. Umpamanya, “Saya berjanji akan mengirimkan uang itu
secepatnya”. Sedangkan kalimat performatif yang implisit adalah yang tanpa
menghadirkan kata-kata yang menyatakan pelaku. Misalnya “jalan ditutup” (yang
secara implisit memperingatkan untuk tidak melewati jalan itu). Di balik
kalimat-kalimat performatif yang implisit itu tentunya ada pihak yang meminta
agar kita melakukan apa yang dimintanya.
Austin (1960:150-163) membagi kalimat performatif
menjadi lima kategori, yaitu (1) kalimat verdiktif yakni kalimat perlakuan yang
menyatakan keputusan atau penilaian, misalnya, “Kami menyatakan terdakwa
bersalah”; (2) kalimat eksersitif yakni kalimat perlakuan yang menyatakan nasihat,
peringatan, dan sebagainya, misalnya, “Kami harap kalian setuju dengan
keputusan ini”; (3) kalimat komisif adalah kalimat perlakuan yang dicirikan
dengan perjanjian, pembicara berjanji dengan Anda untuk melakukan sesuatu,
misalnya, “Besok kita menonton sepak bola”; (4) kalimat behatitif adalah
kalimat perlakuan yang berhubungan dengan tingkah laku sosial karena seseorang
mendapat keberuntungan atau kemalangan, misalnya, “Saya mengucapkan selamat
atas pelantikan Anda menjadi mahasiswa teladan”; dan (5) kalimat ekspositif
adalah kalimat perlakuan yang memberi penjelasan, keterangan, atau perincian
kepada seseorang, misalnya, “Saya jelaskan kepada Anda bahwa dia tidak
bersalah”.
Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat
performatif oleh Austin (1962: 100-102) dirumuskan sebagai tiga peristiwa
tindakan yang berlangsung sekaligus, yaitu:
1) Tindak tutur lokusi, yakni tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam
arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat
dipahami (pernyataan). Misalnya, “Ibu berkata kepada saya agar saya
membantunya”.
2) Tindak tutur ilokusi, adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan
dengan kalimat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ilokusi biasanya
berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh,
menawarkan, dan menjanjikan. Misalnya “Ibu menyuruh saya agar segera
berangkat”. Kalau tindak tutur ilokusi hanya berkaitan dengan makna, maka makna
tindak tutur ilokusi berkaitan dengan nilai, yang dibawakan oleh preposisinya.
3) Tindak tutur perlokusi, adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya
ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistic dari orang
lain itu. Misalnya, karena adanya ucapan dokter (kepada pasiennya) “Mungkin ibu
menderita penyakit jantung koroner”, maka si pasien akan panik dan sedih.
Tindak tutur lokusi
adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu sebagaimana adanya atau The Act
of Saying Something tindakan untuk mengatakan sesuatu. Fokus lokusi adalah
makna tuturan yang diucapkan, bukan mempermasalahkan maksud atau fungsi tuturan
itu. Rohmadi mendefinisikan bahwa lokusi adalah tindak bertutur dengan kata,
frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan
kalimat itu. Lokusi dapat dikatakan sebagai the act of saying something.
Tindak lokusi merupakan tindakan yang paling mudah diidentifikasi karena dalam
pengidentifikasiannya tidak memperhitungkan konteks tuturan. Dengan kata lain,
tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti
“berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat
dipahami. Misalnya:
1.
Jembatan Suramadu menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Madura
2.
Tahun 2004 gempa dan tsunami melanda Banda Aceh.
Dua kalimat di atas dituturkan oleh seorang penutur
semata-mata hanya untuk memberi informasi sesuatu belaka, tanpa tendensi untuk
melakukan sesuatu. apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Informasi yang
diberikan pada kalimat pertama adalah mengenai jembatan Suramadu yang
menghubungkan pulau Jawa dan Pulau Madura. Sedangkan kalimat kedua memberi
informasi mengenai gempa dan tsunami yang pada tahun 2004 melanda Banda Aceh.
Lalu, apabila disimak baik-baik tampaknya tindak tutur louksi ini hanya memberi
makna secara harfiah, seperti yang dinyatakan dalam kalimatnya.
Tindak tutur ilokusi
adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif
yang eksplisit. Menurut pendapat Austin ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu.
Ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud dan fungsi atau daya
tuturan. Bagi Austin, tujuan penutur dalam bertutur bukan hanya untuk
memproduksi kalimat-kalimat yang memiliki pengertian dan acuan tertentu. Bahkan
tujuannya adalah untuk menghasilkan kalimat-kalimat yang memberikan konstribusi
jenis gerakan interaksional tertentu pada komunikasi. Tindak tutur ilokusi ini
biasanya berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh,
menawarkan, dan menjanjikan. Misalnya:
1. Sudah
hampir pukul tujuh
Kalimat di atas bila dituturkan oleh seorang suami kepada
istrinya di pagi hari, selain memberi informasi tentang waktu, juga berisi
tindakan yaitu mengingatkan si istri bahwa si suami harus segera berangkat ke
kantor, jadi minta disediakan sarapan. Oleh karena itu, si istri akan menjawab
mungkin seperti kalimat berikut, “Ya Pak! Sebentar lagi sarapan siap.
Tindak tutur perlokusi
adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan
dengan sikap dan perilaku nonlinguistik dari orang lain. Misalnya:
1. Rumah
saya jauh sih
2. Minggu
lalu saya ada keperluan keluarga yang tidak dapat ditinggalkan
Tuturan pada kalimat pertama bukan hanya memberi informasi
bahwa rumah si penutur itu jauh, tetapi juga bila dituturkan oleh seorang guru
kepada kepala sekolah dalam rapat penyusunan jadwal pelajaran pada awal tahun
menyatakan maksud bahwa si penutur tidak dapat datang tepat waktu pada jam
pertama. Maka efeknya atau pengaruhnya yang diharapkan si kepala sekolah akan
memberi tugas mengajar tidak pada jam-jam pertama, melainkan pada jam-jam lebih
siang. Kalimat kedua selain memberi informasi bahwa si penutur pada minggu lalu
ada kegiatan di keluarga, juga bila dituturkan pada lawan tutur yang pada
minggu lalu mengundang untuk hadir pada resepsi pernikahan, bermaksud juga
minta maaf. Lalu, efek yang diharapkan adalah agar si lawan tutur memberi maaf
kepada si penutur.
Untuk memperjelas pemahaman kita tentang lokusi, ilokusi dan
perlokusi dapat kita lihat dengan memberi contoh dalam satu tuturan.
“Anjing galak itu ada di kebun”
Jika penutur yang mengatakan kalimat tersebut sedang
berusaha memproduksi kalimat yang maknanya didasarkan pada acuan anjing dan
kebun tertentu dalam dunia luar, maka penutur ini sedang memproduksi tindak
lokusi. Sedangkan jika si penutur bermaksud memperingatkan seseorang agar tidak
masuk ke dalam kebun karena di dalam kebun ada anjing galak, maka peringatan
merupakan daya ilokusi ujaran itu. Dan Jika dengan mengujarkan “Anjing galak
itu ada di kebun”, penutur berhasil menghalangi pendengarnya untuk masuk ke
dalam kebun, maka melalui ujaran ini, penutur telah melakukan suatu tindak
perlokusi.
Pencetus teori tindak tutur, Searle membagi tindak tutur
menjadi lima kategori:
1. Representative/asertif,
yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkan.
Tindak tutur jenis ini juga disebut dengan tindak tutur asertif. Yang termasuk
tindak tutur jenis ini adalah tuturan menyatakan, menuntut, mengakui,
menunjukkan, melaporkan, memberikan kesaksian, menyebutkan, berspekulasi.
Contoh jenis tuturan ini adalah: “Adik selalu unggul di kelasnya”. Tuturan
tersebut termasuk tindak tutur representatif sebab berisi informasi yang
penuturnya terikat oleh kebenaran isi tuturan tersebut. Penutur bertanggung
jawab bahwa tuturan yang diucapkan itu memang fakta dan dapat dibuktikan di
lapangan bahwa si adik rajin belajar dan selalu mendapatkan peringkat pertama
di kelasnya. Contoh yang lain adalah: “Tim sepak bola andalanku menang telak”,
“Bapak gubernur meresmikan gedung baru ini”.
2. Direktif/impositif,
yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar melakukan
tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tindak tutur direktif disebut
juga dengan tindak tutur impositif. Yang termasuk ke dalam tindak tutur
jenis ini antara lain tuturan meminta, mengajak, memaksa, menyarankan,
mendesak, menyuruh, menagih, memerintah, mendesak, memohon, menantang, memberi
aba-aba. Contohnya adalah “Bantu aku memperbaiki tugas ini”. Contoh tersebut
termasuk ke dalam tindak tutur jenis direktif sebab tuturan itu dituturkan
dimaksudkan penuturnya agar melakukan tindakan yang sesuai yang disebutkan dalam
tuturannya yakni membantu memperbaiki tugas. Indikator dari tuturan direktif
adalah adanya suatu tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur setelah mendengar
tuturan tersebut.
3. Ekspresif/evaluatif.
Tindak tutur
ini disebut juga dengan tindak tutur evaluatif. Tindak tutur ekspresif
adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar tuturannya diartikan
sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu, meliputi
tuturan mengucapkan terima kasih, mengeluh, mengucapkan selamat, menyanjung,
memuji, meyalahkan, dan mengkritik. Tuturan “Sudah kerja keras mencari uang,
tetap saja hasilnya tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga”. Tuturan tersebut
merupakan tindak tutur ekspresif mengeluh yang dapat diartikan sebagai evaluasi
tentang hal yang dituturkannya, yaitu usaha mencari uang yang hasilnya selalu
tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Contoh tuturan lain adalah
“Pertanyaanmu bagus sekali” (memuji), “Gara-gara kecerobohan kamu, kelompok
kita didiskualifikasi dari kompetisi ini” (menyalahkan), “Selamat ya, Bu,
anak Anda perempuan” (mengucapkan selamat).
4. Komisif.
Tindak tutur
komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan segala
hal yang disebutkan dalam ujarannya, misalnya bersumpah, berjanji, mengancam, menyatakan
kesanggupan, berkaul. Contoh tindak tutur komisif kesanggupan adalah “Saya
sanggup melaksanakan amanah ini dengan baik”. Tuturan itu mengikat penuturnya
untuk melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya. Hal ini membawa
konsekuensi bagi dirinya untuk memenuhi apa yang telah dituturkannya. Cotoh
tuturan yang lain adalah “Besok saya akan datang ke pameran lukisan Anda”,
“Jika sore nanti hujan, aku tidak jadi berangkat ke Solo”.
5. Deklaratif/establisif/isbati, yaitu tindak
tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dsb)
yang baru. Tindak tutur ini disebut juga dengan istilah isbati. Yang termasuk
ke dalam jenis tuutran ini adalah tuturan dengan maksud mengesankan,
memutuskan, membatalkan, melarang, mengabulkan, mengizinkan, menggolongkan,
mengangkat, mengampuni, memaafkan. Tindak tutur deklarasi dapat dilihat dari
contoh berikut ini.
“Ibu tidak jadi membelikan adik mainan.” (membatalkan)
“Bapak memaafkan kesalahanmu.”
(memaafkan)
“Saya memutuskan untuk mengajar di SMA almamater saya.” (memutuskan).
Tindak tutur juga dibedakan menjadi dua yaitu tindak tutur
langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung merupakan
bentuk deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu pernyataan, sedangkan
tindak tutur tidak langsung merupakan bentuk deklaratif yang digunakan untuk
membuat suatu permohonan. Penggunaan tuturan secara konvensional menandai
kelangsungan suatu tindak tutur langsung. Tuturan deklaratif, tuturan
interogatif, dan tuturan imperatif secara konvensional dituturkan untuk
menyatakan suatu informasi, menanyakan sesuatu, dan memerintahkan mitra tutur
melakukan sesuatu. Kesesuaian antara modus dan fungsinya secara konvensional
inilah yang merupakan tindak tutur langsung. Sebaliknya, jika tututan
deklaratif digunakan untuk bertanya atau memerintah atau tuturan yang bermodus
lain yang digunakan secara tidak konvensional, tuturan itu merupakan tindak
tutur tidak langsung. Misalnya, pernyataan “Di luar dingin”. Jika tuturan ini
digunakan untuk membuat suatu pernyataan dengan maksud menginformasikan kepada
pendengar tentang cuaca maka tuturan tersebut berfungsi sebagai tindak tutur
langsung. Sedangkan jika tuturan itu digunakan untuk membuat suatu perintah
atau permohonan dalam arti si penutur memohon kepada pendengar agar menutup
pintu, maka tuturan tersebut berfungsi sebagai suatu tindak tutur tidak
langsung.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan pada bab
sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa :
1) Tindak tutur merupakan gejala
individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh
kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu.
2) Peristiwa tutur merupakan peristiwa
sosial karena menyangkut pihak-pihak yang bertutur dalam satu situasi dan
tempat tertentu. Peristiwa tutur ini pada dasarnya merupakan rangkaian dari
sejumlah tindak tutur (inggris: speech act) yang terorganisasikan untuk
mencapai suatu tujuan.
3) Austin(1962) membedakan kalimat deklaratif berdasarkan maknanya menjadi
kalimat konstatif dan kalimat performatif.
4) Pencetus teori tindak tutur, Searle
membagi tindak tutur menjadi lima kategori yakni representative, komisif,
direktif, ekspresif, dan deklaratif.
5) Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin dirumuskan
sebagai tiga peristiwa tindakan yang berlangsung sekaligus, yaitu: lokusi,
ilokusi dan perlokusi.
B. Saran
Besar
harapan kami dari penulis agar apa yang telah kami paparkan dalam makalah ini
bisa bermanfaat dan dapat menambah wawasan bagi pembaca. Serta apa yang kami
sajikan dapat dipergunakan untuk kepentingan yang positif sehingga berdampak
baik bagi penulis maupun pembaca.
Dalam penulisan makalah ini kami
sebagai penulis merasa bahwa apa yang telah kami sajikan masih jauh dari
kesempurnaan. Olehnya kami masih mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi penyempurnaan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina. 1995. Pragmatik dalam
Pengajaran Bahasa Indonesia. Padang: IKIP Padang.
Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Chaer, Abdul
dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Cummings, Louise. 2007. Pragmatik (Sebuah Perspektif
Multidisipliner). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasanuddin WS, dkk. 2009. Ensiklopedi
Kebahasaan Indonesia. Bandung: Angkasa.
Rahardi, R.
Kunjana. Pragmatik (Kesantunan Imperatif
Bahasa Indonesia). Jakarta: Erlangga.
Schiffrin,
Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Tarigan,
Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik.
Bandung: Angkasa.
Yule,
George. 1996. Pragmatics. Oxford. Oxford University Press.
makasiiih
BalasHapusTerima kasih... Bermanfaat
BalasHapussangat amat membantu sekali, terima kasih
BalasHapusBest Slots Machines for 2021 - DRMCD
BalasHapusBest Slots 전라남도 출장안마 Machines for 2021. We 이천 출장마사지 have hundreds of slot machines that 하남 출장샵 are just some of the best-selling 정읍 출장샵 slots machine apps. 창원 출장마사지 Play casino games with real money.